Pada Agustus 2009, Departemen Kelautan Republik Indonesia (DKP) mengundang Hendrianto selama tiga hari di Ancol, Jakarta. Raja Ampat menjadi fokus utama penelitian untuk kampanye “terumbu karang sehat, ikan melimpah”. Keindahan bawah lautnya yang tak tertandingi dan keanekaragaman hayatinya menjadikannya percontohan ideal bagi daerah maritim lainnya di Indonesia, termasuk Kepulauan Riau pada waktu itu.
Namun, harapan untuk semangat konservasi yang diterapkan di Raja Ampat menular ke daerah lain seolah pupus. Raja Ampat kini menghadapi ancaman serius dari tambang nikel. Eksploitasi mineral yang tak terkendali mengancam keindahan alam yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Pemerintah tampaknya menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi, dengan prioritas keuntungan finansial mengalahkan komitmen terhadap perlindungan alam. Ironisnya, meskipun Indonesia memiliki undang-undang yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil, penerbitan Izin Usaha Pertambangan nikel terjadi di beberapa pulau kecil di Raja Ampat.
Dampak dari pertambangan nikel tidak hanya berdampak pada kerusakan fisik, tetapi juga merusak terumbu karang, habitat ikan, dan ekosistem laut secara keseluruhan. Hal ini mengancam mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata.
Perlindungan terhadap pulau-pulau kecil dan ekosistem laut harus menjadi prioritas utama. Pemerintah harus menegakkan hukum yang telah dibuatnya sendiri untuk melindungi keindahan alam dari ancaman eksploitasi yang merusak. Bersatu untuk melindungi keindahan alam ini dari ancaman eksploitasi yang merusak adalah langkah yang diperlukan agar Raja Ampat tidak terus terancam dan menjadi kenangan pahit di masa depan.