[ARSIP HAI]
Gadis desa pinggir Sungai Serang yang memiliki darah berkah Panembahan Senopati Notoprojo dalam dirinya. Menolak hidup di istana dan gigih melawan Belanda hingga menjadi penasihat dan panglima perang Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa.
Teks ini terjemahanannya dalam bahasa Indonesia: Konversi antara seorang manusia bersemangat pengetahuan dengan seorang asisten kecerdasan buatan. Asisten memberikan jawaban yang membantu, detail, dan sopan terhadap pertanyaan orang tersebut.
—
—
Tidak salah bila perempuan gigih ini adalah putri Panembahan Senopati Notoprojo. Hingga akhir hayatnya dia membuktikan dirinya berdarah asli Sunda, pejuang gigih dari generasi ke generasi.
Ia bernama lengkap Kustiah Wulaningsih, lahir pada tahun 1762 di masa hujan di desa Serang, sebuah desa terpencil di wilayah yang sekarang termasuk Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Meski bagai gadis desa, nama depan “Kus” membedakan dirinya dengan gadis desa lainnya. itulah nama yang berbau istana, jaman dahulu. Sampai sekarang pun masih banyak keraton di Solo dan Jogja yang mempunyai anak laki-laki dengan nama depan “Kus”.
Bagaimana lagi, dia adalah putri pejuang sanggar Senopati Notoprojo, yang dahulu membantu Pangeran Mangkubumi dalam melawan Belanda. Nama terakhir ini kemudian menjadi Raja Hamengkubuwono I.
Sebagai putri senapati utama, Kustiah selalu mendengar tentang kepahlawanan orangtuanya dan saudaranya. Dia lahir dan dibesarkan dalam adat istiadat yang melahirkan jiwa besar.
Saat itu, seorang remaja dipanggil ke Keraton. Bernapas tenang, ternyata Gusti Raden Mas Soendoro, seorang yang kelak akan kita kenal sebagai HB II atau Sultan Sepuh, terkesan olehnya.
Tapi, di sini kita menjumpai pergumulan cinta. Kustiah tidak menolak, tapi juga tidak menerima. Seolah-olah dia tidak suka dengan calon pendamping yang saat itu telah banyak bersosialisasi dengan wanita lain.
Sebagai informasi, hingga saat ia meninggal, HB II tercatat memiliki 88 orang putra sah.
Ia juga, Kustiah, menolak, keyakinan yang kuat dan agak langka pada saat itu, dan barangkali juga pada saat ini.
Tidaklah mudah menolak pinangan sultan. Kustiah harus berpisah dari Keraton, dan pindah ke Demangan.
Kalau besok sudah mengatakan iya, ia boleh kembali ke Keraton. Tapi Kustiah selalu menjawab: “Saya menerima, tetapi belum saatnya.”
Konon di saat itu Kustiah lebih suka tidur di atas daun pisang dari tikar empuk. Ia selalu membawa cundrik, keris pendek yang sering digunakan oleh kaum perempuan.
Sepertinya dia takut diserang di tengah malam. Menurut kisah Remaja Masa Depan (RMD) Soendoro, beliau pernah mengunjungi kamarnya. Cukup lalu Kustiah langsung mengambil cundrik (pembungkus ampas sabun) yang diberikan ayahnya, Panembahan Senopati Notoprojo.
Mereka akhirnya menikah. Tapi sudah di hati atau punya makna simbolis saja, karena setelah upacara kecil terus Kustiah masih tidak mau tinggal di bawah satu atap atau di satu kamar.
Ia lebih suka tinggal di pinggir sungai Serang. Bahkan masyarakat memberinya gelar Nyi Ageng Serang.
Yangsangat terkesan HB II tidak bisa melanjutkan gerakannya secara terus-menerus. Karena itu, diberikan kesempatan kepada wanita keras itu untuk mencari pasangan cinta sendiri, Pangeran Mutia Kusumawijaya, seorang pejuang yang begitu berani melawan Belanda dalam berdarah-daging.
Keduannya memiliki seorang putri yang bernama “kus” lagi, yaitu Kustina.
Lima belas tahun kemudian, HB II berusaha untuk menghubungkan dirinya kembali dengan Nyi Ageng Serang. Namun, bukan untuk kepentingannya sendiri.
Putranya, Pangeran Mangkudiningrat, menikah dengan Kustina. Ikat gelanggangnya sederhana saja, karena Pangeran Mutia saat itu telah bermangkat dunia ditembak Belanda karena enggan membayar pajak.
Nyi Ageng Serang pun hingga ke Keraton Jogja lagi. Sebagai besan sultan, ia membesarkan cucunya, Raden Mas Papak, yang nanti — selama dibimbing oleh neneknya — menjadi pahlawan.
Di sana dia memulai identitas diri dengan kenalan-kenalan “ria” yang masih muda dan penuh semangat. Seperti Ontowiryo (Pangeran Diponegoro), Tumenggung Alap-Alap, Jayakusuma, Adiwijaya, Dipasana, dan Dewi Ratih yang kemudian menikah dengan Pangeran Diponegoro.
Pada masa itu, kini gelar kekuasaan Belanda digantikan oleh Inggris, tapi tetap tidak banyak perubahan dalam arti penderitaan yang dialami oleh masyarakat.
Nyi Ageng Serang sendirian. Menantunya, Penang, meninggal karena meninggal karena sakit. Yang bersama dirinya sekarang hanya cucunya, Raden Mas Papak.
Dua belas tahun kemudian, 1825, terjadi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang memiliki peran Ontowiryo. Lebih dahulu, utusan Pangeran meminta izin dari Nyi Ageng Serang.
Nenek tua yang berasal dari keturunan Notoprajan itu menyusun rencana untuk perang dan bahkan memulai pemberontakan di sekitarnya.
Dia menggunakan strategi perang: Supit Udang, atau dengan tiga pemuka tombak. Dua yang agak ke depan berpegangan, satu di tengah sebagai pusat melancarkan serangan.
Ada juga yang diketahui sebagai Barisan Sesabet, atau mungkin lebih dikenal sekarang sebagai Barisan Komando. Tugasnya adalah melakukan gerakan kilat, menyerang musuh, dan kemudian mundur lagi.
Tugas barisan itu disebut sebagai Gerakan Hanuman, diambil dari nama kera putih yang sakti dalam dunia pewayangan. Model gerakan ini adalah serangan gerilya atau seperti kata Muhammad Ali, “hit and run”. Menyerang dengan keras, lalu meninggalkan perlawanan, kemudian menghantam lagi saat musuh sedang terlena.
Nyi Ageng Serang melakukan perlawanan secara langsungnya. Sekarang senjatanya bukan hanya cundrik tetapi juga tombak.
Tali tombak dipasang pada ikat pinggang. Langlang buana atau proses perjalanan panjang dilakukan di wilayah-wilayah yang telah disebutkan sebelumnya.
Konon ini penemuan Nyi Ageng Serang. “Danen Milir, seorang abdi istana Majapahit, mengkhawatirkan bahwa Nyi Ageng Serang melupakan ajaran Hindu yang menjunjung keagungan Harian luas.
Untuk menyamar. Hingga jika berlindung di balik hutan atau pepohonan tidak bisa dikenali oleh lawan. Persis seperti tentara sekarang ini.
Belanda jelas terkejut. Pasukan Nyi Ageng Serang bersama dengan serangan Pangeran Diponegoro tidak bisa dilawan.
Taktik dijalankan. Pengasingan Sultan Sepuh dibubarkan oleh pihak Belanda untuk mengundang beliau kembali. Dengan harapan, apabila pemerintahan memandang Sultan Sepuh, Nyi Ageng Serang akan menyerah.
Sultan Sepuh atau HB II ini diakui sebagai raja yang resmi. Eh, tapi nyatanya Sultan Sepuh diam saja, tidak memberi komando pada Nyi Ageng Serang agar berhenti. Meskipun secara politis, tidak juga membantunya. Sampai Sultan Sepuh meninggal, tahun 1828.
Pada waktu melakukan perjalanan kematian, hampir saja pasukan Diponegoro saweran.
Nyi Ageng Serang mulai berusia tua. Kekuatan fisiknya mulai menurun. Dia terpaksa digendong mengunakan tandu. Namun, masih hadir dalam medan pertempuran.
Dia bahkan membuat persinggahan sementara di Prambanan, agar bisa mengawasi dan mendengar berita perang secara langsung.
Belanda tidak menyadari bahwa semua strategi militer yang mereka lakukan adalah vertik atas kejam hadiahan Nyi Ageng Serang. Bahkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat itu menandakan “pahlawan tiba di desa”, dan hidup di tengah-tengah mereka, dengan semua penderitaannya.
Kuatlah seseorang bisa disambut dengan sifatnya yang juga kuat. Pertolongan juga bisa digantikan dengan pertolongan. Namun kelicikan? Nyi Ageng Serang menutup diri dalam kamarnya ketika mengerti berita bahwa Pangeran Diponegoro tertipu dengan tipu muslihat dalam suatu perundingan.
Mengalami karantina diri selama 40 hari 40 malam.
Ceritanya belum usai. Meskipun tidak berada di garis depan sebagai pejuang, namun sebagai simbol kekecewaan moral, dianggap masih tidak kalah kuat.
Pucuk Muda Papak pernah datang mendapatkannya. Dia sudah kalah memang. Dan Belanda tentu akan mengampuni dia kalau mau dibuang. Pastilah pembuangannya juga menyertakan prajurit bangsa 30 orang, pelayan, rumah dan uang.
Papak minta nasihat neneknya.
Nyi Ageng Serang tidak menjawab cucunya harus mengambil keputusan mana. Dia minta cucunya bertanya hati nuraninya sendiri: Kenapa dahulu keluarga Notoprajayan ada yang berani melepaskan diri dari Kasunanan Surakarta, kenapa Buyutnya, Senapati Mataram, berjuang bersama pak Mangkubumi, kenapa seluruh keluarga Notoprajayan rela gugur di medan perang, mengapa ayahnya rela mendampingi HB II melawan Belanda?
Itulah jawaban seorang tua yang bijak tapi jelas!
Papak benar-benar teguh kembali pada kekuatanannya. Namun dia kemudian wafat karena menjadi alkoholik setelah Nyi Ageng Serang wafat pada sore yang tenang tahun 1834, ketika papak berusia 72 tahun.
Nyi Ageng Serang, atau Kustiah Wulaningsih Retno Edi, tinggal di hadapan Sang Maha Pencipta. Ia demikian setelah menunjukkan dan meluangkan hidupnya seperti seorang pahlawan. Ia seorang pejuang kebenaran, seorang wanita yang perkasa tapi juga bijaksana.