Perubahan ini diperlukan karena preseden yang dibuat Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batalnya Pasal baku batas dalam Undang-Undang Pemilu.
Yusril menyebutkan sekarang ini menteri-menteri terkait masih membahas bagaimana perubahan terhadap pasal terkait ambang batas presiden dilaksanakan. “Dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat,” sebut Yusril dalam keterangan pers pada Selasa (7/1/2025).
Yusril melanjutkan pemerintah dan DPR akan menyimak semua usulan dan pertimbangan yang disampaikan semua pihak. Termasuk dari partai politik peserta pemilu dan partai politik non peserta pemilu, para akademisi, hingga tokoh-tokoh sosial.
“Apa yang sebaiknya kita rumuskan sebagai satu norma baru pengganti pasal 222 UU Pemilu dengan rumusan-rumusan yang sesuai dengan perkembangan zaman di sisi lain dan pula sesuai dengan lima rekayasa konstitusional atau “constitutional engineering” dalam pertimbangan hukum putusan MK,” kata Yusril.
Bahwa sejatinya tidak ada dan tidak akan ada (situasinya) ini. Ini dengan menggunakan interpretasi sistematis dan temasik dengan menghubungkan sampai pasal pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945 dan pasal pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A.
Namun, Yusril menyebutkan adanya rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi capres-cawapres sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Rekayasa itu sebelumnya dibenarkan MK dengan alasan untuk memperkuat sistem presidensial. Namun, Putusan MK No 62/PUU-XII/2024 malah mengubah pendirian MK selama ini.
Saat ini ada ‘qaul qadim’ atau pendapat lama dan ‘qaul jadid’ atau pendapat baru di MK,” kata Yusril. “Setelah 32 kali diuji, baru di tessia pengujian ke-33 MK mengabulkannya.
Apakah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) juga akan memasukkan ambang batas lagi?
Yusril menyatakan pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden menyalahi UUD 1945.
“Apapun putusan yang diambil mahkamah, pemerintah akan patuh pada Mahkamah Konstitusi, dan kita tahu keputusan MK adalah final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat dilakukan,” demikian kata Yusril.
Setelah adanya keputusan MK, kemungkinan besar akan disahkan oleh DPR. Namun, Yusril percaya bahwa jika pembatasan itu kembali nampak, maka MK akan membatalkannya.
“Jika ada pihak yang meminta klarifikasi hukum kepada mahkamah, saya dapat membayangkan atau menebak, kemungkinan besar Mahkamah Konstitusi akan membatalkan kembali pasal dari Undang-Undang yang berisi angka ambang batas presiden,” ungkap Yusril.