Pengelolaan budaya sebagai aset daerah kerap dihadapkan pada dilema antara pelestarian dan pariwisata. Sebuah refleksi penting muncul dari gelaran Workshop Jurnalisme Arkeologi di Lasem, yang menyoroti bahaya membaurkan kedua konsep tersebut.
Menurut Sa’id Mustafa Husein, seorang jurnalis arkeologi asal Kuansing yang telah banyak menelisik situs-situs budaya, menyandingkan pelestarian budaya dan pariwisata justru akan mengkhianati nilai-nilai budaya itu sendiri.
“Dua konsep ini, pelestarian budaya dan pariwisata, kalau dijalankan beriringan akan saling mengkhianati. Dan yang lebih terkhianati adalah nilai-nilai budaya,” tegas Sa’id seperti diceritakannya melalui WAG IKKS, Minggu (29/6/2026).
Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa kepentingan pariwisata seringkali mengesampingkan nilai-nilai budaya yang esensial, sementara pariwisata itu sendiri pada akhirnya akan gagal karena kehilangan orisinalitas yang seharusnya menjadi daya tarik utama.
Refleksi ini membawa Sa’id pada kondisi pengelolaan budaya pacu jalur di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). Ia mengamati bagaimana Pemerintah Kabupaten Kuansing berupaya menjalankan kedua konsep ini secara bersamaan: pelestarian budaya iya, pariwisata pun iya.
Sayangnya, pendekatan ini justru berbuah pahit. Nilai-nilai budaya dalam pacu jalur kian terpinggirkan, dan upaya pariwisata pun berjalan lambat, bahkan cenderung gagal. Akibatnya, pacu jalur belum mampu menarik perhatian turis Eropa dan Amerika, padahal usianya yang panjang seharusnya sudah membuat tradisi ini mendunia.
Sa’id menyoroti bahwa di Asia Tenggara, pergelaran serupa juga digelar setiap tahun di Danau Tonle Sap, Kamboja, menunjukkan potensi besar pacu jalur untuk bersaing di kancah internasional jika dikelola dengan tepat.
Pengalaman Lasem menjadi contoh nyata betapa pentingnua fokus pada satu konsep. Di masa lalu, Lasem juga pernah memadukan kedua konsep ini. Namun, kini mereka telah bergeser, dengan memusatkan perhatian pada pelestarian budaya.
Hasilnya, mulai terlihat. Lasem kini dikenal sebagai destinasi yang diminati turis Eropa dan Amerika, justru karena mengedepankan orisinalitas budayanya. Wisatawan mancanegara, khususnya dari Eropa dan Amerika, sangat menghargai keaslian budaya.
“Seharusnya, kalau menerapkan konsep cultural preservation, harus fokus pada pelestarian budaya saja,” lanjut Sa’id. Budaya yang orisinal, pada akhirnya, akan menjadi daya tarik tersendiri dan sangat diminati oleh wisatawan mancanegara.
Harapan besar disematkan agar Kuansing di masa depan dapat belajar dari Lasem. Dengan lebih fokus pada satu konsep saja dalam mengelola warisan budayanya, khususnya pacu jalur, nilai-nilai luhur budaya dapat terjaga.
Pada saatnya nanti, orisinalitas inilah yang akan menarik wisatawan yang benar-benar menghargai kekayaan budaya dan membawa pacu jalur dikenal luas di kancah global.