banner 728x250

Tingkah Laku Sungai-sungai di Jawa, yang ke Utara dan Selatan Berbeda

banner 120x600
banner 468x60


Sungai ternyata seperti manusia. Ada yang alih-alih sangat tenang, tapi tiba-tiba bisa menjadi marah. Ada yang sifatnya ramah, ada pula yang kasar. Begitu kata Ir. H. Mardjono Notodihardjo, pakar persediaan yang pernah jabatan direktur utama PT Bina Karya (Persero).



banner 325x300



Bengawan Solo adalah salah satu sungai di Jawa yang sifatnya tidak berenergi tinggi. Keadaan di sisi timur Kota Solo itu romantis, hingga seniman seperti Gesang dan Arimah (Maladi) dipicu untuk menciptakan lagu.

Wilayah Bojonegoro di Jawa Timur adalah yang paling sering terkena.emptyListMisalnya pada awal 1990, lahan seluas 22.000 ha – termasuk sawah dan permukiman – tergenang air hingga tebal 1 m, sehingga kira-kira 100.000 jiwa yang tinggal di 13.000 rumah dipaksa harus mengungsi.


“Sungai Citarum termasuk begitu pula,” jawab Ir. Mardjono.


Pada dasarnya ia bisa dibilang sutradara. Turunannya berliku-liku membentuk badan sungai yang fantastis.


Daerah Priangan tengah bangkit, dengan kemungkinan tengah menjelma menjadi reaksi banjir yang tak terduga.


“Karena energi yang terkandung memang sangat besar,” kata Mardjono.


Genre sungai yang sangat spesifik. Ia mengalirkan kehangatan yang luar biasa mengenai Jawa Tengah, mengalirkan harumnya inti kebudayaan Jawa yang mengandung makna filosofi yang sangat dalam mengenai keharmonisan dengan alam, terutama di wilayah ini.


Menghasilkan energi puluhan megawatt listrik, mengairi ratusan ribu hektar sawah, menyediakan air industri, serta menyediakan tempat rekreasi lewat Waduk Gajah Mungkur.


Tidak beda halnya dengan Sungai Citarum yang mendapatkan sumber airnya dari kaki Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Energi besarnya yang tersembunyi juga tak dibiarkan begitu saja lenyap ke Laut Jawa.


Sejak tahun 1967 bagian bawah sungai sudah dibendung menjadi Bendungan Waduk Jatiluhur di Purwakarta. Akibatnya, tanah pertanian antara Cipunegara, Karawang dan Kali Bekasi menjadi salah satu tandon beras terbesar di Indonesia.


Air Citarum juga dapat digunakan untuk menghasilkan sumber tenaga listrik 187 MW (menurut situs Departemen PUPR terbaru). Bahkan, penduduk Jakarta juga menikmati air minum yang disalurkan oleh Saluran Tarum Barat, yang kemudian bergabung dengan Kali Ciliwung untuk menuju Instalasi Penjernihan Air Pejompongan.

Kurang dari 20 tahun kemudian, diikuti oleh Waduk Saguling yang dalam keindahan sore di hulu Citarum yang potensial sebagai pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas yang tak kalah besar dan megah.

Meskipun begitu, kekhawatiran tak berujung, Waduk Saguling masih belum dapat mengendalikan banjir yang sering meluap di wilayah Bandung Selatan.


Cimanuk dan Kali Serang, lambang persaudaraan

Sungai Cimanuk di Jawa Barat berbeda juga. Meskipun sering banjir, sungai yang bermata air di kaki Gunung Mandalagiri (1.831 m), selatan Kota Garut, dan bermuara di Tanjung Indramayu di pantai Laut Jawa, terlihat sangat akrab.

Ribuan hektar sawah di daerah Cirebon dan Indramayu menikmati air dari Bendungan Rentang. Hal yang sama terjadi di Kali Serang di Jawa Tengah, yang mengairi ribuan hektar sawah di wilayah Demak dan Kudus melalui Bendungan Sedadi.

“Kedua sungai itu merupakan lambang persaudaraan antara manusia dengan alam,” kata Mardjono. Namun, saat bahkan sedang banjir, airnya masih meluap ke mana-mana.

Penduduk di daerah-daerah di lembah sungai tidak hanya menghadapi bencana banjir, namun juga seringkali dihcadapi oleh letusan gunung berapi yang mengakibatkan lava dan abu berawa menetes ke sungai.

Kali Brantas di Jawa Timur sebagai contoh, bersama anak-anak sungainya yang di antaranya bersumber di kaki Gunung Kelud (1.731 m), dikenal karena kesemrawutan karena ikut menyebarkan bencana letusan Gunung Kelud.

Kecuali meledak lahar panas, Gunung Kelud meninggalkan material letusannya di lerengnya, yang bisa menjadi ancaman lahar dingin yang tidak kalah berbahaya di musim hujan. Lahar dingin yang longsor karena hujan bisa menyebabkan sedimentasi sungai dan banjir, karena air tidak tersimpan lagi di alurnya.


Upaya menghadapi banjir lahar dingin, berupa pasir yang bisa menutupi sawah dan pembatasan penduduk di DAS Brantas bagian tenga, telah dimulai sejak tahun 1954.


dan laut-laut pasir di anak-anak Sungai Brantas, seperti di Kali Badak, Kali Putih, dan Wlingi. Banjir lumpur terkadang tidak pernah menghilang, walaupun tanggul ditinggikan, sungai dikeruk dan drainase pada anak-anak sungainya setiap kali telah diperbaiki.

Meskipun begitu, Sungai Brantas, yang sekitar 250 km panjangnya, dapat dimanfaatkan untuk irigasi, pembangkit listrik tenaga air dan keperluan lain lain melalui pembangunan waduk beberapa di bagian hulu-nya, seperti Bendungan Karangkates dan Waduk Selorejo di anak Sungai Brantas yang bernama Kali Konto.


Memerangi erosi dengan KB

Tidak kurang dahsyat adalah Sungai Citanduy yang sumber airnya dari kaki Gunung Talaga Bodas (2.201 m) dan Galunggung (2.168 m) di Jawa Barat. Sungai tersebut masih sering menimbulkan bencana banjir, terutama di Ciamis Selatan.

Air Citanduy sangat bernapas keras, di luar karena muntahan lahar dingin dari Gunung Galunggung, adalah juga karena mengangkut lumpur hasil erosi dari daerah aliran sungainya yang sangat lapuk itu. Erosi itu mengikis tanah lapisan atas yang subur.

Hal itu sudah dicoba diatasi, seperti dengan terasering, peningkatan cara bertani dan pengurangan tekanan penduduk dengan transmigrasi dan program KB di daerah hulu.

Tanah-tanah rawan yang berada di sepanjang DAS (Dasar Air Sungai) adalah penyebab utama ancaman banjir. Kehilangan tanaman penutup (land cover) menyebabkan sebagian besar air hujan tidak menebut ke dalam tanah, sehingga terjadi banjir.

Penyebab banjir rutin lainnya, khususnya di Ciamis Selatan, adalah perbedaan tinggi ketinggian di kawasan sumber sungai dengan curah hujan di muara sungai yang tidak begitu besar. Ditambah proses lebihan sedimen yang terus-menerus di daerah muara Sungai Citanduy, aliran air terkendala lambat sebelum bersiktar menuju Samudera Indonesia.

Perilaku sungai berbeda-beda. Oleh itu, sungai di Jawa memiliki kesamaan. “Sungai di Jawa dirasa relatif pendek, sempit, dan dangkal. Kemampuan menampung air sungai Jawa terbatas, sehingga mudah meluap dan menyebabkan banjir atau genangan,” kata Mardjono.

Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa malah hanya 540 km panjangnya, sementara Kapuas di Kalimantan mencapai 1.369 km, sedangkan Barito 2.344 km.

Sungai-sungai di Kalimantan yang panjang dan juga lebar dapat dimanfaatkan sebagai jalur lalu-lintas air. Panjang sungai dapat dinaiki hingga mencapai 500 km.

Sementara di Jawa sungai-sungai yang dapat dimanfaatkan untuk pelayaran hanya ada di bagian hilir Sungai Bengawan Solo sepanjang 100 km. Jalan air berikut ini masih ditemani dengan kapal-kapal kecil untuk penyeberangan.


Mengapa airnya keruh?

Banjir di Jawa umumnya terjadi di daerah aliran sungai yang mengalir ke Laut Jawa. Selain kapasitas saluran terbatas, kemiringan sungai pun relatif kecil.

“Parahnya kemiringan lereng cukup besar, sehingga air dapat cepat dialirkan ke laut,” ujar Mardjono.

Terjadinya banjir tidak hanya disebabkan oleh kondisi fisik sungai yang demikian, tetapi juga karena rusaknya sebagian besar hutan.

Menurut perkiraan S. Indro Tjahjono, ketika itu Koordinator Unit Pelayanan SKEPHI (Sekretariat Bersama Pelestarian Hutan Indonesia), hutan di Pulau Jawa (data tahun 1990) tinggal tersisa 15% dari luas daratan. Akibat lenyapnya sebagian hutan, masuk pula 770 juta ton tanah subur setiap tahunnya.

Kerusakan hutan itu juga menyebabkan kebanyakan sungai di Jawa menjadi dangkal karena pendangkalan akibat erosi di daerah aliran sungai, serta erosi dari tepian sungai itu sendiri.

“Besarnya erosi permukaan yang diperbolehkan memang hanya 1 mm saja, tapi biasanya tingkat erosi di Jawa sudah melampaui ambang tersebut,” ujar Mardjono.

Kerusakan permukaan sungai yang tinggi dapat dilihat dari kerusakan pada permukaan sungai yang patah dan berwarna kecoklatan karena ukuran kotoran atau selisih ukuran butiran butiran yang diangkut datang dari sumber-sumber di atasnya dapat berbeda. Sungai Cacaban di Jawa Tengah merupakan sungai yang berkontinen tertinggi di Jawa.

Kemudian Sungai Cilutung, Cimanuk, dan Cikeruh di Jawa Barat, disusul Bengawan Solo dan juga Kali Brantas.

“Sungai Brantas menempuh beban tambahan dari abu dari Gunung Kelud,” kata Mardjono. Singgah terlalu ke Kali Progo dengan abu Gunung Merapi dan Citanduy dengan abu Galunggung.

Menurut Mardjono, sungai-sungai di Jawa pada umumnya dalam kondisi kritis. Dalam arti, keseimbangan ekosistemnya terganggu akibat kepadatan penduduk di daerah aliran sungai yang memiliki daya dukung terbatas.

Itulah sebabnya semua sungai di Jawa memerlukan perhatian khusus dan prioritas pengelolaan yang lebih tinggi. Semua itu memerlukan arus dana yang begitu besar.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *