Klik Cepat, Baca Lambat: Tantangan Literasi di Era Media Sosial
Oleh: Fikri Salim
Hari ini, anak-anak Indonesia lebih akrab dengan notifikasi media sosial daripada lembaran buku. Mereka lebih luwes memainkan gim daripada memahami isi bacaan. Lahir di tengah kemajuan teknologi, generasi digital ini belum sepenuhnya dibekali kemampuan literasi yang memadai untuk menghadapi derasnya arus informasi. Ironisnya, jempol mereka begitu aktif, tapi kemampuan membacanya justru tertinggal.
Data dari PISA 2022 memperlihatkan hal yang mengkhawatirkan: Indonesia berada di posisi ke-39 dari 41 negara dalam kemampuan literasi membaca. Meski peringkat kita sedikit membaik, skor justru menurun. Temuan dari Dinas Pendidikan Buleleng, Bali, juga menunjukkan bahwa banyak siswa SMP belum lancar membaca, meskipun mereka sangat aktif di media sosial. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan ketimpangan antara akses teknologi dan kualitas pendidikan.
Presiden Prabowo Subianto bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, meluncurkan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) saat Hari Pendidikan Nasional 2025 sebagai respons atas tantangan tersebut. Program ini tidak sekadar simbolik, melainkan langkah konkret yang menargetkan tiga hal utama: peningkatan literasi, pemerataan pendidikan, dan penguatan kualitas guru.
PHTC menekankan rehabilitasi sekolah melalui skema swakelola untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Tujuannya bukan sekadar membangun fisik sekolah, tapi juga menumbuhkan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat agar sekolah menjadi milik bersama yang benar-benar hidup. Melalui platform Ruang Murid dan papan interaktif digital, PHTC mendorong pembelajaran berbasis teknologi.
Guru non-ASN kerap luput dari perhatian, padahal kontribusinya besar. PHTC hadir dengan insentif untuk mengapresiasi mereka sekaligus mendorong peningkatan kompetensi agar kualitas pendidikan makin merata. Di daerah 3T, masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik. PHTC menyediakan bantuan biaya pendidikan agar tidak ada guru yang tertinggal secara akademik dan profesional.
Keberhasilan program ini tak bisa hanya bergantung pada pemerintah pusat. Peran aktif pemerintah daerah, sekolah, orang tua, media, dan masyarakat luas sangat menentukan keberlanjutan reformasi ini. Regulasi pembatasan media sosial untuk anak-anak juga tengah disusun sebagai respons atas dampak negatif digitalisasi.
Pendidikan bukan soal gedung megah atau alat digital mutakhir saja, tapi tentang manusia yang berpikir jernih, peduli, dan siap berkontribusi. Dengan mendukung program seperti PHTC dan memperkuat literasi, kita bisa menyiapkan generasi yang bukan hanya cepat mengklik, tapi juga cakap membaca dan berpikir.