Di tengah hamparan kebun sawit Desa Pangkalan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), sebuah kisah pilu terukir. Ipeh Laia, seorang bapak dari Nias, bersama dua anaknya yang masih di bawah umur, merantau ke Kuansing demi mencari sesuap nasi. Harapan akan kehidupan yang lebih baik pupus sudah, berganti dengan nestapa yang tak berkesudahan.
Ipeh bekerja sebagai pembersih kebun sawit yang dikelola oleh seorang pria bernama Rian. Baru seminggu bekerja, petaka datang menghampiri. Ipeh ditangkap polisi dengan tuduhan menggarap lahan sawit di kawasan hutan. Sementara itu, Rian, sang pengelola kebun, bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum.
Dua anak Ipeh yang masih belia terlantar, hidup tanpa tempat tinggal. Mereka bahkan sempat tinggal di asrama polisi karena tak punya tempat berteduh. Kabar pilu ini sampai ke telinga istri Ipeh di Nias. Dengan hati hancur, sang istri menyusul ke Kuansing, bertekad memperjuangkan keadilan bagi suaminya.
“Suami saya tidak bersalah. Dia hanya seorang pekerja, bukan pemilik kebun,” isak sang istri, air mata membasahi pipi. Ia bersumpah tak akan kembali ke Nias sebelum suaminya dibebaskan dan keadilan ditegakkan.
Lebih pilunya, menurut Seru Laia, kerabatnya yang lain menjelaskan, waktu itu ibu dan anak- anaknya datang ke Polres Kuansing meminta supaya mereka digabungkan sama suaminya dalam penjara. Tapi polisi tidak mengijinkan.
“Setelah itu penyidik datang meminta ibu itu bersama anak-anaknya tidur di asramanya polisi. Lalu keluarga tersebut tidur disitu selama dua hari dua malam,” ucap Seru dengan nada sedih.
Setelah itu, mereka keluar dari ruangan asrama tersebut mengunjungi rumah kerabat mereka. Karena di tempat polisi tidak ada alat dapur katanya, kini mereka tinggal di rumah kerabat mereka yang lain, ujar Seru Laia melalui sambungan telepon, Minggu (2/3/2025).
Kasus Ipeh ini menjadi ironi di tengah hiruk pikuk industri sawit. Bagaimana mungkin seorang pekerja kecil menjadi korban, sementara pemilik modal melenggang bebas? Keadilan seolah tumpul di hadapan kekuasaan dan materi.
Kisah Ipeh dan keluarganya adalah potret buram ketidakadilan yang masih menghantui negeri ini. Hukum seolah tajam ke bawah, tumpul ke atas. Masyarakat kecil selalu menjadi korban, sementara para pemilik modal dan penguasa berlindung di balik kekuasaan.
Kita patut mempertanyakan, di mana letak keadilan bagi Ipeh dan keluarganya? Mengapa hukum seolah tutup mata terhadap ketidakadilan yang nyata ini? Sampai kapan masyarakat kecil terus menjadi korban ketidakadilan?
Kasus Ipeh harus menjadi titik balik bagi penegakan hukum di Indonesia. Jangan biarkan ketidakadilan terus merajalela. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu. Keadilan harus dirasakan oleh semua warga negara, tanpa terkecuali.
Terkait ini, Kapolres Kuansing AKBP Angga Herlambang saat dikonfirmasi melalui pesan Whatsapp belum memberikan jawaban. (hen)
Sumber : Riauin.com / Editor : Hendrianto