Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, menyatakan belum memperoleh data lengkap sehubungan dengan benteng penghalang laut sejauh 30,16 kilometer (km) yang menyeberangi perairan Tangerang.
Dia belum memastikan juga apakah pagar tersebut berdekatan dengan lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Tropical Coastland di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
“Saya tidak memiliki informasi yang akurat tentang apakah itu berada di dalam atau di luar PSN. Kami sedang melakukan investigasi lebih lanjut,” ujar dia dalam tayangan Kompas TV pada Sabtu (11/1/2025).
Dia belum bisa memastikan apakah pembangunan pagar laut tersebut terkait dengan reklamasi atau tidak.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP membutuhkan waktu untuk menemukan pemilik pagar laut ini.
“Ahli sudah membutuhkan beberapa waktu untuk kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut karena tidak ada nama perusahaan, tidak ada orang yang menjaga, dan sebagainya. Pastilah mereka melakukan penyelidikan,” kata Trenggono.
Setelah penelitian makin mendalam, ia memastikan akan memberitahu publik siapa pemilik dari pagar laut tersebut.
Keterangan Blokasi Pantai Laut Tanpa Ijin
Pagar laut tersebut pertama kali ditemukan pada bulan Agustus 2024.
Menurut laporan, pagar ini terbuat dari bambu dengan ketinggian rata-rata 6 meter dan panjang 30,16 km.
Pagar ini memiliki pintu setiap 400 meter, memungkinkan perahu melintas.
Pagar bambu ini membentang di 16 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang, tempat sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya ikan tinggal.
Tetapi, adanya pagar laut tanpa izin ini melanggar Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2023 tentang zona perairan untuk perikanan tangkap, pariwisata, dan pembangunan lainnya.
Gangguan Bagi Nelayan
Warga setempat mengatakan bahwa pagar itu menghalangi kegiatan sehari-hari mereka untuk menangkap ikan.
Ombudsman RI di wilayah Banten menyatakan bahwa instalasi pagar itu dilakukan secara diam-diam pada malam hari semenjak Juli 2024, dengan pekerja yang mendapat gaji sebesar Rp100 ribu per hari.
“Pemasangan pagar ini melibatkan banyak tenaga kerja, namun hingga sekarang kami belum bisa mengidentifikasi siapa pemiliknya dan apa tujuan pemasangannya,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di Banten, Fadli Afriadi.
Upaya Penyelidikan dan Sanksi
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengunci pagar laut tersebut melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Trenggono menjelaskan bahwa pihaknya membutuhkan waktu untuk meng Hayati dan meminta informasi tentang pemilik pagar ini, sebab tidak ada informasi yang jelas, seperti nama perusahaan atau pihak yang bertanggung jawab.
“Sanksi yang akan diberikan adalah denda administratif dan perintah pembongkaran pagar laut menurut hukum yang berlaku,” jelas Trenggono.
Tindakan Da’i Banten dan Ombudsman
Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menjelaskan untuk memahami pagar ini direntang di 16 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang.
Kawasan ini merupakan tempat menetap sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI di wilayah Banten, Fadli Afriadi, menyebutkan bahwa pembangunan pagar laut itu dilakukan oleh warga pada malam hari.
Mereka yang bekerja untuk memasang pagar laut tersebut mendapatkan gaji sebesar Rp100 ribu per hari sejak bulan Juli tahun 2024.
Hingga saat ini, belum diketahui siapa pemilik yang bertanggun jawab atas pemasangan pagar ini.
Belum diketahui juga soal tujuan dan manfaat dari pembangunan pagar laut di Tangerang.
“Mengapa? Kami belum bisa mengidentifikasi karena informasinya sangat beragam,” kata Fadli Afriadi, Rabu (8/1/2025), dikutip dari Kompas.com.
Akibat adanya pagar laut tersebut, nelayan mengeluhkan bahwa kegiatannya untuk berburu ikan silihvi trengginas.
Diketahui bahwa penempatan pagar juga melanggar Perda Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur lingkungan kahukan air atau zona-zona perairan untuk berbagai kepentingan, termasuk nelayan, pariwisata, hingga rencana pembangunan waduk di pantai.
Komisioner keamanan lingkungan hidup DKP Banten mengaku pernah mengunjungi dan menemukan bahwa pagar laut tersebut tidak terdaftar sebagai bangunan dibawah pengawasan dan pengelolaan oleh DKP.
Pihak Dewan Kehormatan Kebupaten (DKP) Banten juga melakukan pemeriksaan ke lokasi pembangunan pantauan dan berkoordinasi dengan Camat dan Kepala Desa setempat pada 5 September 2024.
Hasilnya, tidak ada rekomendasi atau izin dari kepala desa atau desa terkait pembatasan akses laut yang berlangsung.
DKP Banten telah melakukan patroli dan inspeksi di lokasi sejak bulan September tahun 2024.
Mereka menemukan bahwa pagar ini tidak memiliki surat perizinan resmi dari pemerintahan setempat, termasuk camat dan kepala desa.
Pada saat itu, DKP Banten telah menginstruksikan untuk menghentikan semua kegiatan tambangan.
Ombudsman Republik Indonesia di wilayah Banten juga tengah melakukan investigasi mendalam dengan memanggil pihak-pihak terkait untuk mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas pagar misterius ini.
Menteri Trenggono menjamin bahwa setelah penelitian selesai, pihaknya akan menyampaikan hasilnya kepada masyarakat luas.
Hingga sekarang, pagar laut misterius di perairan Tangerang masih menjadi pertanyaan besar, baik terkait pemiliknya, tujuannya, maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan perairan setempat.
Tanggapan Kuasa Hukum Pengembang PSN PIK 2
Pengacara pengembang Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Muannas Alaidid, menyangkal keterlibatan kliennya dalam pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km) di perairan Tangerang.
Menurutnya, pengembang PSN PIK 2 bukanlah yang memasang pagar laut tersebut. Dia menyatakan tidak mungkin pengembang melakukan pemasangan itu.
PT Agung Sedayu Group, perusahaan yang didirikan oleh Sugianto Kusuma atau sering disapa Aguan, merupakan pengembang dari PSN PIK 2.
“Apa perlu saya yang developingnya untuk urus hal ini,” katanya kepada Tribunnews, Sabtu (11/1/2025).
Muannas menyatakan bahwa pagar laut yang terbuat dari bambu tersebut adalah tanggul laut biasa yang merupakan hasil inisiatif mandiri warga.
Pagar laut bambu itu disebut berfungsi untuk memecah gelombang dan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tambak ikan di dekatnya.
Selain itu, bendungan laut dari bambu itu juga disebut Muannas, yang digunakan untuk menghalangi sampah seperti yang ada di Muara Angke dan bisa juga dipakai sebagai pembatas lahan pantai warga yang tanahnya mengalami erosi.
“Tidak ada kaitan sama sekali dengan pengembang karena posisi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2,” kata Muannas.
Kompas.com/Tribunnews.com