– Madu yang muncul di laut Tangerang sepanjang 30,16 Km masih belum banyak diketahui penyebabnya.
Sekarang ini, wajah pemilik pagar sangkut lagi disorot.
Informasi adanya pagar misterius di laut Tangerang ini pertama kali diterima oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten pada 14 Agustus 2024 lalu.
Setelah menerima informasi tersebut, DKP Banten melakukan pengecekan di lapangan pada tanggal 19 Agustus.
Pada saat itu, pagar laut itu direkam baru dipasang sepanjang 7 kilometer.
.
Setelah itu, pada 5 September 2024, tim dari Komisi Pemilihan Banten (DKP Banten) dipecah menjadi dua kelompok.
Pasukan pertama bertugas memeriksa langsung pemasangan pagar, sementara pasukan kedua koordinasi dengan camat dan beberapa kepala desa setempat.
Berdasarkan informasi yang mereka kumpulkan, diketahui bahwa pemasangan pagar laut itu tidak didapatkan rekomendasi atau izin dari kepala desa dan desa sekitarnya.
Pada saat itu, belum ada keluhan dari masyarakat mengenai pemasangan pagar laut di Tangerang.
Eli dan tim DKP Banten berpatroli kembali pada 18 September 2024, dengan melibatkan Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang serta Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
Mereka pun memberikan instruksi agar kegiatan reklamasi di laut Tangerang ditunda.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Wilayah Banten, Fadhi Afriadi, menyatakan penyelenggaraan konstruksi pagar laut menempatkan masyarakat setempat yang menerima gaji sebesar Rp 100.000 per hari.
Tetapi, masih belum diketahui siapa yang memberi perintah untuk menginstal pagar itu.
Warga yang dipasang pagar itu diminta bekerja pada malam hari dengan gaji Rp 100.000 per orang.
“Mereka (masyarakat) menyampaikan bahwa malam-malam kemarin warga diharuskan menambahkan Rp 100.000 per orang. Tapi siapa yang menyuruh kejelasannya belum kami dapatkan,” ucap Fadli.
Siapa Milik Pagar Misterius di Laut Tangerang?
Hingga saat ini, identitas pemilik atau pihak yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar laut ini masih belum ditentukan.
Investigasi yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia (RI) bersama DKP Banten berfokus untuk membuka penyebab pengotoran lingkungan ini.
“Kita masih sedang menentukan pihak-pihak apa saja yang akan kami hubungi,” kata Fadli Afriadi.
Meskipun beberapa informasi telah akumulasi, pihak yang memberikan instruksi kepada warga untuk memasang pagar ini masih belum diketahui.
Banyak orang bertanya-tanya tentang tujuan dibalik pembangunan pagar ini, mengingat wujud dan ukurannya yang begitu aneh.
Bupati DKP Banten, Eli Susiyanti, menekankan bahwa pagar tersebut tidak memiliki izin resmi.
Selain itu, tidak ada saran dari camat atau kepala desa setempat terkait pengamanan this, sehingga memunculkan spekulasi adanya pelanggaran hukum.
Di sisi lain, pagar ini dibuat dari bambu dengan struktur anyaman dari bambu, paranet, dan beban tambahannya terdiri dari karung berisi pasir.
Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menyatakan bahwa ketinggian pagar rata-rata mencapai enam meter.
Selain itu, pagar ini dirancang dengan pintu setiap 400 meter untuk memungkinkan perahu melintas.
Berdasarkan pengamatan lapangan, pagar ini memiliki struktur berlapis yang membuatnya menyerupai labirin.
“Saya melihat pagar yang menyerupai labirin,” kata Fadli Afriadi.
Di dalam area pintu terjaga, nelayan akan menemukan kotak-kotak tambahan yang lebih sederhana.
Pagar laut Tangerang ini telah mengganggu aktivitas masyarakat, terutama nelayan.
Banyak nelayan merasa dirugikan karena wilayah tempat mereka biasa menangkap ikan sekarang tertutup oleh promosi laut tersebut
“Tidak sesuai dengan prinsip bahwa lautan itu terbuka, jadi tidak boleh ditutup,” tegas Fadli.
Di daerah ini, terdapat sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya laut yang bergantung pada laut untuk penghidupannya.
Kehadiran pagar ini menimbulkan potensi bahaya terhadap keberlanjutan ekonomi mereka.
Pagar ini memiliki panjang sekitar 30,16 kilometer dan juga tidak mendapatkan izin dari Dinas Kebersihan dan Pengairan (DKP) Banten maupun rekomendasi dari kecamatan atau kepala desa di daerah tersebut.
Kejaksaan Ombudsman daerah Sumedang juga melakukan investigasi mandiri untuk menemukan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar ini.
“Kita masih menentukan siapa saja pihak-pihak yang akan kami hubungi,” ujar Fadli.
Investigasi masih berjalan sampai sekarang.
Menurut himpunan ahli pengelolaan pesisir Indonesia (HAPPI), setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut selama lebih dari 30 hari harus memiliki izin penggunaan kegiatan lain di laut.
Rasman Manafii dari HAPPI menyebutkan bahwa pemasangan pagar ini dapat dianggap sebagai suatu kecurangan administrasi.
Hingga kini, masyarakat, nelayan, dan pihak-pihak terkait selalu menunggu hasil investigasi dari Ombudsman RI dan DKP Banten.
Bambu di laut Tangerang tetap menjadi misteri yang perlu diselidiki.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Google Berita