Singapura menjadi saksi ketegangan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik saat International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2025 berlangsung. Forum keamanan tingkat tinggi terbesar di Asia ini terlibat dalam gesekan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Pernyataan provokatif Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, menyebut Tiongkok sebagai ancaman di Indo-Pasifik, memicu protes keras dari Beijing.

Protes yang dilontarkan Tiongkok menekankan sensitivitasnya terhadap narasi yang menggambarkan negaranya sebagai agresor, terutama terkait ambisinya di Laut Tiongkok Selatan. Ketegangan antara AS dan Tiongkok dalam berbagai isu, seperti perdagangan, teknologi, dan klaim teritorial, semakin meningkat.

AS melihat Tiongkok sebagai ancaman karena ekspansi militer yang pesat dan agresivitasnya di Laut Tiongkok Selatan. Di sisi lain, Tiongkok menganggap pernyataan AS sebagai upaya untuk menghambat kebangkitannya dan campur tangan dalam urusan internalnya. Respons negara-negara di kawasan terhadap pernyataan kontroversial Hegseth beragam.

Indonesia, sebagai negara besar di Asia Tenggara, mengedepankan pendekatan seimbang dan inklusif dalam menghadapi dinamika kawasan. Jakarta menekankan pentingnya dialog dan kerja sama untuk mencegah eskalasi konfrontasi. Respons Indonesia terhadap insiden ini akan menekankan perdamaian dan stabilitas regional.

Pernyataan Hegseth yang menekankan “ancaman” menjadi tantangan bagi diplomasi Indonesia yang mengutamakan sentralitas ASEAN dan prinsip non-blok. Indonesia akan terus mendorong dialog terbuka dan konstruktif dalam forum-forum seperti Shangri-La Dialogue.

Shangri-La Dialogue 2025 mencerminkan kompleksitas tatanan keamanan di Indo-Pasifik. Pertanyaan kunci adalah apakah para pemimpin di kawasan ini mampu menavigasi badai geopolitik dengan bijak demi menciptakan Indo-Pasifik yang damai, stabil, dan sejahtera. Langkah diplomasi ke depan akan menjadi penentu arah.