Ada kalimat yang pernah membuat saya bertanya-tanya, “Apa maksudnya ini?” Kalimat itu adalah: “Semakin kita bersemangat, semakin bahagia.” Awalnya saya menganggapnya sebagai lelucon khas teman yang suka berlama-lama-ng atas hal-hal. Tapi semakin saya pertimbangkan, semakin terasa bahwa kalimat ini mengandung kebenaran yang, meski terdengar aneh, begitu relevan dengan kehidupan kita.
Mari kita cari tahu: apakah benar seseorang yang “gila” bisa lebih bahagia? Jangan terburu-buru mencari bantuan psikiater dulu—kita akan membahasnya dari sudut pandang narasi, data, dan analisis kritis, lengkap dengan humor yang semoga membuat Anda tersenyum.
“Gila” dalam arti yang berbeda
Mari kita klarifikasi dahulu apa yang dimaksud dengan “gila.” Pada konteks ini, kita bukan sedang membahas tentang gangguan mental yang serius, tetapi lebih kepada keberanian untuk keluar dari ketentuan, melakukan sesuatu yang tidak biasa, atau bahkan mengikuti norma-norma yang selama ini membatasi diri kita.
Contohnya? Ada teman saya yang tiba-tiba memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang mapan di kantor dan mulai berjualan tahu bakso di pinggir jalan. Awalnya, semua orang mencibir: “Gila banget, kan?!” Tapi, enam bulan kemudian, dia justru lebih bahagia, punya waktu lebih banyak untuk keluarga, dan tabungannya lebih tebal dibandingkan saat jadi karyawan kantoran.
Ada banyak contoh serupa di dunia. Elon Musk, misalnya, dianggap “gila” ketika berani merancang mobil listrik dengan Tesla. Orang-orang sempat meragukan idenya. Sekarang? Dia adalah salah satu orang terkaya di dunia. Gila? Mungkin. Bahagia? Hampir pasti.
Data dan Fakta: Apa Hubungan “Mania” dengan Keterandalan?
Mari kita pindah ke aspek data. Sebuah penelitian dari University of California mengungkapkan bahwa orang yang bersedia mengambil resiko atau mencoba hal baru lebih cenderung menikmati tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Mengapa? Karena keberanian beralih dari lingkungan yang nyaman (zona nyaman) menyebabkan pelepasan hormon dopamin, suatu zat kimia di otak yang terkait dengan perasaan bahagia.
Hal ini juga didukung oleh survei dari Journal of Positive Psychology yang menemukan bahwa orang yang melakukan aktivitas spontan atau “gila-gilaan” seperti mendaki gunung tanpa rencana matang, menari di tengah hujan, atau mempelajari hobi baru cenderung merasa lebih puas dengan hidupnya. Aktivitas-aktivitas ini membuat mereka merasa hidup, bukan sekadar menjalani rutinitas harian yang membosankan.
Namun, tidak berarti “kegilaan” ini tanpa resiko. Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi dalam teoriannya tentang flow menjelaskan bahwa kebahagiaan tertinggi terjadi ketika seseorang berada dalam kondisi keterlibatan penuh pada aktivitas yang dia lakukan. Namun, ada catatan: aktivitas itu harus cukup menantang, namun tetap berada dalam kemampuan kita. Jika “gila”-nya terlalu ekstrem—contohnya, tiba-tiba ingin melompat dari pesawat tanpa parasut—apa yang terjadi bukan kebahagiaan, tetapi potensi masuk berita kriminal.
Standar dan Harapan: Penghalang Utama Kebahagiaan
Salah satu alasan mengapa kita sering merasa tidak bahagia adalah tekanan norma sosial. Kita diajarkan untuk mengikuti jalur yang dianggap “benar”: sekolah, kuliah, kerja kantoran, menikah, mempunyai anak, pensiun, dan selesai. Siapa pun yang menyimpang dari jalur ini langsung dianggap “tidak normal.”
Padahal kebahagiaan tergantung pada subjektivitas seseorang. Seseorang mungkin merasa bahagia karena menjadi seniman jalanan sementara seseorang lain memiliki kebahagiaan karena bekerja sebagai akuntan. Tapi ketika kita hingga terlalu sibuk memikirkan ‘apa kata orang’, kita kehilangan kesempatan untuk mendengarkan apa yang memang membuat kita bahagia.
Saya ingat cerita kenegara seorang teman yang memutuskan menjadi penulis bebas setelah berpuluhan tahun bekerja di perusahaan. Banyak yang menganggap dia bodoh karena meninggalkan karir yang stabil. Tapi dia berkata, “Saya akhirnya bisa menulis novel sambil memakai kaos. Saya bahagia.” Apa yang dia lakukan mungkin dianggap gila menurut standar masyarakat, tapi baginya, itu memang kebahagiaan yang sebenarnya.
Keluarga yang Seimbang: Resep Bahagia tanpa Rasa Bersalah.
Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa Anda lakukan untuk menjadi “gila” dan membawa kebahagiaan tanpa menimbulkan kerugian:
Berani Mencoba Hal Baru
Awali dengan hal yang kecil. Cobalah mencicipi makan di restoran yang belum pernah Anda kunjungi, atau pelajari kemampuan baru seperti melukis atau bermain gitar. Aktivitas-aktivitas ini akan memberikan Anda perasaan capai serta momentum dalam rutinitas.
Abaikan Ekspektasi Orang Lain
Ingatlah, kehidupan ini milik Anda. Jangan lebih lanjutegersa untuk mnyesuaikan diri menurut standar orang lain. Kalau Anda ingin bernyanyi di tengah jalan atau membuka usaha kopi kecil-kecilan, lakukan saja!
Keluar dari zona nyaman dengan perhitungan
Jangan takut mengambil resiko, tapi pastikan kamu telah mempertimbangkan konsekuensinya. Misalnya, jika kamu ingin berhenti bekerja untuk memulai usaha, pastikan kamu memiliki tabungan yang cukup untuk bertahan selama beberapa bulan pertama.
Rayakan Kesalahan
Kalau Anda gagal, jangan takut. Cobalah melihatnya sebagai pelajaran berharga. Kelebihannya bahkan bisa jadi cerita yang lucu ketika Anda menceritakannya kepada teman-teman kemudian.
Penutup: Kebahagiaan Hanya Ada di Tangan Anda
Semakin kita berani menjadi “gila” dengan cara yang sehat dan terencana, semakin kita membuka peluang untuk merasa lebih bahagia. Duniawi ini terlalu besar untuk dihabiskan dengan menjalani hidup yang terlalu serius. Kadang, kita perlu menertawakan diri sendiri, mencoba hal-hal yang tidak biasa, dan berkata, “Kenapa tidak?”
Jadi, kalau suatu hari Anda merasa ingin melakukan sesuatu yang tampaknya “gila”—seperti mendadak belajar salsa di usia 40-an atau membuka kedai kopi di atas pohon—lakukanlah. Mungkin saja, itulah langkah pertama menuju kebahagiaan sejati.
Lagi, hidup ini terlalu singkat untuk selalu “normal,” bukan?