atau ambang batas mencalonkan presiden dan wakil presiden sekitar 20 persen. Keputusan tersebut tertuang dalam pembacaan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis, 2 Januari 2025, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
“Saya mengabulkan permohonan para nasabah untuk seluruhnya,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat membacakan keputusan.
Masing-masing partai politik sekarang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden tanpa harus membentuk aliansi partai.
Atas keputusan tersebut. Menurut mereka berdua, petisi yang diajukan oleh para pengajuan, yaitu empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri atau UIN Sunan Kalijaga, tidak memiliki kedudukan hukum.
“Yang pertama, tentu, selalu emosi positif harus dipilih terhadap setiap yang menimpa kita sehari-hari,” ujar Daniel Yusmic P. Foekh.
Anwar dan Daniel mengatakan bahwa pihak yang berwenang untuk meminta pengujian substansi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah hanya partai politik, gabungan partai politik peserta pemilu, dan perseorangan yang memiliki hak untuk dipilih mendukung, serta yang dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kategori ini, menurut mereka, telah menjadi acuan dalam Menyerukan 33 keputusan yang sama sebelumnya.
Selanjutnya, kedua hakim tersebut berangan-angan bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya mengendalikan diri dari menilai kembali kekonstitusianan norma ambang presiden. Mereka menekankan bahwa norma tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
“Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak boleh meninjau ulang peraturan perundang-undangan atau bagian dari undang-undang tersebut jika norma tersebut merupakan kuasa deformasi yang terbuka dan dapat ditentukan sebagai kebijakan hukum oleh pembentuk undang-undang,” demikian pendapat Anwar dan Daniel.
Tidak membenarkan silakan cocok dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, serta melanggar moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang tidak bisa ditoleransi. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyatakan, penghapusan ketentuan ini menggambarkan pergeseran mendasar dalam pandangan MK.
Saya menyatakan, zonasi 90 persen-masyarakat yang akan pada pemilihan presiden sebesar 90 persen akan tidak menyukai Joko Widodo, selebihnya tidak langsung saya kata kan minta berapa banyak,” ujar Saldi.
Penguasaan presidensial juga menyatakan keasihan pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini membuka peluang baru dalam kontestasi Pilpres mendatang. Partai politik sekarang memiliki kebebasan untuk mengusulkan calonnya tanpa dipengaruhi oleh persyaratan koalisi.
Penulis berpartisipasi dalam menulis artikel ini.