Presiden Ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, memberikan perintah kepada Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto untuk mencopot Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto sebelum matahari terbenam. Perintah tersebut diberikan pada pagi 22 Mei 1998, sehari setelah Habibie resmi menjabat sebagai Presiden.
Pada pagi itu, Habibie seharusnya mengumumkan susunan kabinetnya di Istana Merdeka pukul 08.00 WIB, namun terlambat satu jam. Saat tiba di Istana Merdeka, Habibie langsung memerintahkan pencopotan Prabowo setelah mendapat laporan dari Wiranto mengenai gerakan pasukan Kostrad.
Wiranto menyampaikan bahwa pasukan Kostrad bergerak tanpa sepengetahuan Panglima ABRI dan berkumpul di beberapa lokasi, termasuk dekat kediaman Habibie. Hal ini membuat Habibie menyimpulkan bahwa Prabowo bergerak sendiri dan keluarlah perintah pencopotan.
Prabowo sendiri baru mengetahui bahwa dia dicopot dari jabatan Panglima Kostrad saat berkunjung ke kantor Fanny Habibie di Kantor Otorita Batam. Pada sore harinya, Prabowo datang ke Istana Merdeka dengan membawa pengawal, namun setelah pembicaraan dengan Sintong, dia menyerahkan senjatanya dengan sopan.
Habibie dan Prabowo kemudian bertemu secara pribadi di ruang kerja presiden. Prabowo memprotes pencopotannya dan meminta waktu untuk tetap menguasai pasukan Kostrad selama tiga bulan, namun permintaannya ditolak oleh Habibie.
Setelah beberapa pembicaraan, Prabowo meninggalkan ruangan atas permintaan Sintong untuk memberikan kesempatan bertemu dengan tamu berikutnya. Jabatan Pangkostrad sementara dipegang oleh Letnan Jenderal Johny Lumintang sebelum akhirnya dilantik Mayjen Djamari Chaniago sebagai Pengkostrad.
Prabowo kemudian mengungkapkan bahwa dia tidak pernah memiliki niat untuk melakukan kudeta, serta menyatakan keterkaitannya dengan keluarga Cendana dan pejuang kemerdekaan. Setelah peristiwa tersebut, Prabowo tidak bertemu lagi dengan Habibie hingga 15 tahun kemudian, saat keduanya bertemu di Jerman pada tahun 2013.