Profesor Didin menyatakan bahwa secara dasarnya ada empat jenis kebijakan utama di Indonesia, yaitu distribusi, redistribusi, regulasi, hingga deregulasi. Pada level distribusi, fokusnya adalah pada pengalokasian sumber daya alam bagi kebaikan masyarakat, dengan tujuan mengurangi kesenjangan sosial. Profesor Didin memberikan contoh penambangan, seperti batubara dan minyak, di mana kebijakan terkait menekankan pentingnya menghindari perluasan kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin.
Kedua kebijakan redistribusi, melalui metode pajak, pemerintah memulangkan dana kepada masyarakat dalam bentuk stimulus. Misalnya adalah stimulus PLN untuk pelanggan 450-2200 VA. Namun, Prof. Didin menyoroti bahwa implementasi stimulus ini seringkali kurang maksimal.
Saya akan mengutip apa yang dia katakan, seperti yang dijadwalkan oleh induk platform ini bahwa “Saya sedang dalam proses ditambahkan fitur baru kemampuan bahasa
Pertiga kebijakan regulasi. Kebijakan ini menetapkan pembatasan antara yang diizinkan dan dilarang. Prof Didin mengkritik ketidak konsistensi dan perubahan regulasi yang sering terjadi di Indonesia. Keempat kebijakan deregulasi, kebijakan untuk menghilangkan aturan yang dianggap mengganggu.
“Menentukan intervensi pemerintah yang diperlukan dan yang tidak diperlukan. Sayangnya, umumnya, pemerintah cenderung terlalu banyak campur tangan, termasuk dalam hal-hal yang sebenarnya kontraproduktif,” katanya.
Dampak kebijakan dan pelaksanaannya di Indonesia
Profesor Didin memperhatikan dampak keputusan PPN 12%, menurutnya, aslinya potensi peningkatan pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 730 triliun jika keputusan itu diterapkan secara luas, namun sekarang implementasi yang terbatas pada barang mewah hanya menghasilkan sekitar Rp 400 triliun. Pemerintah bahkan telah menyiapkan insentif sebagai dampak yang tidak diharapkan (redistrbusi), seperti diskon listrik dan air, serta pemutihan balik nama kendaraan.
Tapi, implementasi kebijakan di Indonesia menghadapi empat tantangan utama. Pertama komunikasi, komunikasi yang lambat dan kurang efektif seringkali menimbulkan pesan negatif di masyarakat. Contohnya, isu kenaikan PPN yang meskipun sebenarnya hanya seribu persen bukan dua ribu dua persen, dan masih bukan menjadi sebenarnya tidak jadi diterapkan, namun terlanjur menyebabkan kepanikan dan melonjaknya harga kebutuhan pokok seperti cabai hingga jengkol.
“Sekarang harga jengkol dan cabai sudah naik sangat tinggi. Sekarang jengkol sama cabai jadi barang ‘mewah’,” sindir Profesor Didin.
Lalu, tantangan sumber daya. Meskipun instrumen dan lembaga seperti Tim Pengendali Inflasi Daerah/Providen, Komisi Informasi, dan berbagai komisi lainnya telah dibuat, fungsinya belum dimaksimalkan. Profesor Didin bertanya tentang efektivitas lembaga-lembaga itu dalam menjalankan tugasnya dengan proaktif.
dan pejabat bea cukai dengan kekayaan tidak wajar. “Mereka yang membuataturan mereka sendiri yang melanggar,” kata Profesor Didin.
Struktur pemerintahan yang rumit. Struktur pemerintahan yang kompleks dan tidak efisien menghalangi pelaksanaan kebijakan, terutama di tingkat daerah. Meskipun tim pengatara inflasi telah ada di tingkat kabupaten/kota, efektifitasnya perlu diperluas.