Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang menggelar sidang pemeriksaan setempat terkait gugatan wanprestasi yang diajukan PTPN IV Regional III terhadap Koperasi Produsen Sawit Sukses Makmur (Koppsa-M) senilai Rp140 miliar. Sidang tersebut berlangsung pada Senin (3/2/2025) di Desa Pangkalan Baru, Kabupaten Kampar, Riau.
Sidang lapangan ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Soni Nugraha dan dihadiri oleh perwakilan PTPN IV Regional III sebagai penggugat, pihak tergugat dari Koppsa-M, serta sejumlah tim kuasa hukum kedua belah pihak.
“Dengan massa sebanyak ini, jika ada satu saja yang memicu tindakan provokatif, semuanya bisa terpancing. Jadi, cukup pihak berkepentingan saja yang hadir,” tegas Hakim Soni Nugraha menanggapi kehadiran massa petani anggota Koppsa-M yang berupaya mengawal jalannya pemeriksaan.
Sidang lapangan juga mengalami silang pendapat antarpetani yang hadir, bahkan beberapa kuasa hukum tergugat mencoba mengajukan argumen di luar materi gugatan. Meskipun demikian, pemeriksaan lapangan tetap berjalan lancar dengan pengawalan aparat gabungan TNI-Polri.
Kuasa hukum PTPN IV Regional III, Surya Dharma dan Wahyu Awaluddin, menyatakan harapan agar sidang ini dapat mengungkap fakta hukum secara jelas terkait sengketa tersebut. Mereka yakin fakta-fakta yang terungkap dapat membantu majelis hakim melihat kebenaran sesuai dengan dalil gugatan.
Menurut Surya, total dana talangan yang telah dikeluarkan perusahaan mencapai Rp140 miliar, yang digunakan untuk pembangunan kebun, perawatan, hingga pelunasan utang di perbankan. Namun, setelah kewajiban itu diselesaikan, pengurus koperasi dianggap bermanuver dan mengabaikan hak-hak petani.
Persoalan internal Koppsa-M disebut sudah berlarut-larut, dengan pola yang berulang dari kepengurusan sebelumnya. Bahkan, mantan ketua koperasi sebelumnya, Anthony Hamzah, telah divonis bersalah dalam kasus hukum yang terkait. Kini, kepemimpinan Nusirwan yang dijanjikan untuk melakukan transformasi dinilai mengulangi kesalahan yang sama.
Akibatnya, para petani yang merupakan anggota koperasi dianggap menjadi korban. Lebih lanjut, sebagian besar petani yang kini mengklaim lahan tidaklah pemilik asli, banyak dari mereka diduga membeli kebun secara ilegal.