Partai Golkar Riau akan menggelar Musyawarah Daerah (Musda) yang akan menentukan pemimpin DPD I Partai Golkar Riau ke depan. Isu yang tengah menjadi sorotan bukan hanya siapa yang akan terpilih, tetapi juga proses politik di internal partai.
Dr. Tito Handoko, S.IP., M.Si, Pengamat Politik dari Universitas Riau, menyoroti dampak hasil Pemilu 2024 terhadap Partai Golkar di Riau. Meskipun berhasil meraih tiga kursi DPR RI, performa partai ini menurun di tingkat kabupaten/kota dan dalam Pilkada.
Evaluasi terhadap kepengurusan DPD I Partai Golkar yang dipimpin oleh Syamsuar tengah menjadi perhatian. Kemenangan SF Harianto sebagai Wakil Gubernur Riau membuka spekulasi apakah Golkar akan mendorongnya sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Riau.
Namun, Tito menyoroti kendala besar yang dihadapi, yaitu kurangnya pengalaman SF Harianto sebagai pengurus Partai Golkar. Aturan dalam Petunjuk Pelaksanaan DPP Partai Golkar menyatakan syarat utama untuk maju sebagai Ketua DPD I adalah pengalaman sebagai pengurus Golkar selama satu periode penuh.
Tito menekankan kemungkinan adanya manuver politik dari Golkar untuk meloloskan SF Harianto, termasuk perubahan aturan di Musda berdasarkan rekomendasi DPP. Hal ini dianggap sebagai tindakan pragmatis yang dapat mengubah dinamika Golkar Riau.
Di tengah perdebatan tersebut, muncul dua nama kader potensial yaitu Parisman Ikhwan dan Karmila Sari sebagai calon pemimpin Golkar Riau. Mereka dianggap sebagai kader yang lahir dari Golkar dan telah teruji dalam dinamika politik partai.
Tito menekankan pentingnya kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dalam partai politik. Kader internal yang memahami ideologi partai dianggap lebih berhasil daripada figur eksternal dengan kekuatan politik instan.
Musda Golkar Riau akan menjadi ujian bagi partai ini dalam menentukan arahnya ke depan. Keputusan Golkar dalam memilih pemimpin DPD I tidak hanya akan menentukan siapa yang terpilih, tetapi juga arah dan masa depan partai di Riau.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Golkar akan tetap setia pada AD/ART dan kader internalnya, atau justru mengutamakan kepentingan jangka pendek dengan mengubah aturan demi figur tertentu. Keputusan tersebut akan menjadi tolak ukur kekuatan identitas Golkar sebagai partai kader atau keberhasilan dalam mencapai kekuasaan dengan mengorbankan prinsip kaderisasi.