Pemerintahan desa dihadapkan pada dilema krusial dalam memilih mesin penggerak ekonominya di tengah desentralisasi yang semakin menguat. Pertanyaan mendasar muncul antara melanggengkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah eksis atau merangkul inisiatif baru Koperasi Merah Putih yang dijanjikan akan mengucurkan dana besar.
Sejak diamanatkan oleh Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, BUMDes telah menjadi tulang punggung perekonomian desa dengan modal dari pemerintah desa dan Pendapatan Asli Desa (PADes). Namun, banyak BUMDes yang masih mengalami kesulitan, bahkan mati suri, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam manajemen bisnis, pemasaran, dan inovasi produk.
Wacana kehadiran Koperasi Merah Putih menjadi angin segar dengan dukungan dari Inpres No. 9 Tahun 2025 yang dijanjikan akan mengalirkan dana desa, APBN, APBD, dan pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Meskipun skema pendanaan ini menjanjikan, risiko utang berantai dan potensi politisasi menjadi perhatian.
Pemerintah desa diharapkan tidak terjebak dalam dikotomi dalam menghadapi pilihan antara BUMDes atau Koperasi Merah Putih. Sinergi dan penguatan kapasitas dianggap sebagai kunci untuk mengatasi dilema tersebut. Penguatan SDM BUMDes, peningkatan transparansi, dan akuntabilitas menjadi prioritas utama.
Koperasi Merah Putih diharapkan dapat menjadi pelengkap, bukan pengganti, dengan tata kelola yang ketat, pengawasan berlapis, dan prinsip kehati-hatian dalam berutang. Kolaborasi antara BUMDes dan Koperasi Merah Putih juga diharapkan dapat terwujud untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemandirian ekonomi desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Membangun ekosistem ekonomi desa yang kuat dengan dukungan dari pemerintah daerah, akademisi, dan sektor swasta menjadi kunci keberhasilan. Pilihan antara BUMDes atau Koperasi Merah Putih bukanlah tentang mana yang lebih baik, melainkan bagaimana keduanya dapat diintegrasikan dan dikelola dengan bijak untuk mencapai tujuan bersama.