Mengikuti BRICS, Indonesia akan mendapat manfaat untuk melepaskan diri dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Masih lusinan konflik perdagangan global masih terjadi dengan negara-negara di Eropa, kata Nailul dalam sebuah pernyataan di Jakarta, Senin (7 Januari, 2024).
Bicaranya berlanjut, sekarang negara-negara Eropa mulai mencegah impor dagang Indonesia. Salah satu contohnya adalah melalui hambatan European Deforestation Regulation (EUDR) terhadap produk kelapa sawit.
Presiden Prabowo Subianto kemudian menunjukkan dukungan kepada petani sawit dan mempertimbangkan untuk mencari pasar lain di luar wilayah Eropa.
“Prabowo juga menunjukkan dukungannya kepada minyak sawit lokal, saya rasa itu menjadi pertimbangan juga untuk mencari pasar alternatif,” katanya.
Nailul menjelaskan, secara dasarnya gerakan diplomasi Indonesia adalah gerakan daluarsa, yaitu tidak bersekutu dengan blok mana pun, baik yang berada di Bloc BRICS maupun OECD. Namun, pilihan koalisi politik dan ekonomi bisa memacu pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Data menunjukkan bahwa proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan yang kemudaan. Ketika tahun 1990, proporsi ekonomi negara BRICS hanya 15,66 persen; sementara pada tahun 2022, proporsinya mencapai sebesar 32 persen.
Anggota BRICS yang berdiri sejak 2009 tidak hanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sekarang ini, BRICS kini memiliki anggota yang tersertifikasi lebih banyak, yakni 13 negara baru ditetapkan sebagai negara mitra pada bulan Oktober 2024.
“Negara Timur Tengah mulai bergabung dengan negara-negara di koalisi BRICS, hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk masuk ke pasar Timur Tengah. Jadi, pada kenyataannya, manfaat bergabung dengan BRICS cukup besar,” ucap Nailul.
Namun demikian, Nailul menyebutkan bahwa koalisi BRICS juga memunculkan risiko konflik kriterium dengan Amerika Serikat, salah satunya terkait fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi.
Menurutnya, potensi terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan China akan meningkat ketika Donald Trump telah menjadi Presiden AS.
“Ia mengatakan ada potensi perdaneganik global yang lambat dan akan terasa pada negara-negara koalisi. Saya rasa memilih untuk bergabung dengan BRICS lebih rasional meskipun ada pula risikonya, terutama dengan negara-negara OECD dan blok Barat,” ujarnya.