Penetapan tersangka terhadap mantan Ketua DPRD Kuantan Singingi (Kuansing) periode 2009-2014, Muslim, dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Hotel Kuansing tahun 2013 dan 2014, menuai sorotan. Menurut Syaifullah Afrianto, mantan Wakil Ketua DPRD Kuansing, penetapan ini perlu dikembangkan lebih lanjut. Keputusan yang dibuat lembaga legislatif bersifat kolektif kolegial, sehingga tanggung jawab tidak hanya diemban oleh seorang ketua semata. Setiap keputusan DPRD, termasuk penganggaran pembebasan lahan, dibahas secara bersama-sama oleh Badan Anggaran (Banggar), pandangan umum anggota dewan, dan pendapat dari fraksi-fraksi, sebelum disahkan melalui persetujuan DPRD yang ditandatangani oleh pimpinan.

Menurut Yan Tembak, pimpinan DPRD Kuansing terdiri dari Ketua, Wakil Ketua I, dan Wakil Ketua II. Mereka seharusnya melahirkan keputusan bersama yang dikoordinir oleh ketua-ketua fraksi. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai keterlibatan unsur pimpinan lainnya dalam penganggaran pembebasan lahan hotel tersebut. Yan Tembak menyoroti kejanggalan penetapan hanya seorang Ketua DPRD Kuansing sebagai tersangka, sementara anggota lain, khususnya pimpinan komisi dan fraksi, tidak terseret. Keputusan pengesahan RAPBD menjadi APBD adalah produk bersama, bukan keputusan individu.

Untuk mengembangkan kasus ini, Yan Tembak menyarankan agar penyidik memeriksa notulen rapat dan dokumentasi saat pengesahan anggaran. Politisi senior ini juga menolak alasan yang menyebut belum terbentuknya Perda BUMD sebagai patokan untuk menetapkan Ketua DPRD sebagai tersangka. Skandal ini bermula dari proyek pembangunan Hotel Kuansing yang didanai melalui APBD Kabupaten Kuansing Tahun Anggaran 2013 dan 2014. Perubahan lokasi pembangunan hotel memicu kebutuhan anggaran pembebasan lahan yang tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setempat.

Dalam persidangan, terungkap pula bahwa proses pembebasan lahan dilakukan secara tergesa-gesa dan diduga sarat praktik korupsi. Sebelumnya, Kabag Pertanahan Setda Kabupaten Kuansing, Suhasman, disebut melakukan transaksi pembelian dengan menggunakan akta jual beli yang diterbitkan oleh notaris tertentu. Atas perbuatannya, Suhasman telah divonis bersalah bersama dengan mantan Kepala Bappeda Kuansing, Hardi Yacub. Keduanya menerima hukuman 12 tahun penjara dan denda ratusan juta rupiah.