Pakar Hukum Tata Negara Universitas Riau Zul Wisman SH MH menjelaskan bahwa pemerintah bisa menghentikan secara paksa kegiatan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sumou Kecamatan Hulu Kuantan karena belum memiliki perizinan. Hal ini disampaikan oleh Zul Wisman pada Jumat, 14 Februari 2025.
Menurut Zul Wisman, dalam dimensi UU Cipta Kerja, keterlanjuran kegiatan usaha dalam kawasan hutan diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110B. Dalam Pasal 110A disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023. Jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, akan dikenai sanksi administrasi.
Di sisi lain, Pasal 110B menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan usaha tanpa izin sebelum tanggal 2 November 2020 akan dikenai sanksi administrasi berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah. Mekanisme pelaksanaan Pasal 110A dan Pasal 110B diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Menurut Zul Wisman, karena pengelola lahan di HPT Sumpu belum memiliki izin, berlaku ketentuan Pasal 110B yang memungkinkan pemerintah untuk menghentikan kegiatan mereka secara paksa. Sebelumnya, seorang pensiunan kehutanan inisial UM mengungkapkan bahwa sekitar enam ribu hektar kebun kelapa sawit di HPT Sumpu telah diusulkan keterlanjuran sesuai dengan Undang-undang Cipta Kerja, namun izinnya belum keluar.
UM juga menyatakan bahwa sudah diurus izin keterlanjuran, namun hingga kini belum keluar izinnya. Menurutnya, jika pemilik kebun sudah mendaftarkan izin keterlanjuran dan mendapatkan bukti pendaftaran, persoalan tersebut tidak bisa lagi menjadi masalah hukum.
Kasus persembahan kawasan HPT di Sumpu sudah dilaporkan sejak lama dan laporan telah sampai ke Mabes Polri sekitar tahun 2014. Pada tahun 2015, sejumlah tokoh masyarakat di Hulu Kuantan membawa kasus tersebut ke DPRD. Namun, kini DPRD berniat untuk mengungkap kembali agar lahan ribuan hektar itu dikembalikan kepada negara.
Nama sebuah koperasi simpan pinjam “Guna Karya Sejahterah” muncul sebagai pihak dominan yang menguasai lahan, namun DPRD menduga koperasi tersebut hanya sebagai kedok oleh oknum cukong agar penguasaan lahan terlihat legal. Meskipun telah dipanggil dua kali oleh DPRD Kuansing, Koperasi Guna Karya tidak pernah hadir. Begitu juga dengan Pj kades di empat desa tersebut juga mangkir.