Jurnalis Majalah Gatra, Virdika Rizky Utama, pada bulan Oktober 2017, menemukan dokumen-dokumen penting terkait operasi politik untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid, yang dikenal dengan Gus Dur. Dokumen tersebut berisi notulensi rapat elite politik Partai Golkar dan pihak lain pada tahun 2000-2001.
Dalam dokumen tersebut terdapat nama-nama politikus terkemuka seperti Amien Rais, Fuad Bawazier, Akbar Tandjung, Arifin Panigoro, dan lainnya. Satu dokumen berisi notulensi rapat pada 22 Juni 2000 di rumah Arifin Panigoro, yang ditandatangani oleh Priyo Budi Santoso. Sementara dokumen lainnya adalah surat rahasia dari Fuad Bawazier kepada Akbar Tandjung yang menyinggung skenario operasi “Semut Merah” untuk menjatuhkan Gus Dur melalui kasus Buloggate dan Bruneigate.
Dokumen tersebut merinci rencana operasi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, preman, pengusaha, dan media massa untuk menggoyang pemerintahan Gus Dur. Tujuan utamanya adalah untuk memaksa Gus Dur mundur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri yang akan didukung oleh Amien Rais sebagai wakil presiden.
Virdika menyelidiki dokumen ini dengan mewawancarai tokoh-tokoh yang disebut di dalamnya dan kemudian menerbitkan hasil investigasinya dalam buku berjudul ‘Menjerat Gus Dur’ pada tahun 2019.
Buku tersebut mengungkap awal perseteruan Gus Dur dengan parlemen dan politikus lainnya setelah ia mencopot Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri pada April 2000. Langkah Gus Dur ini menuai reaksi negatif dari politikus elit, termasuk dari Partai Golkar dan PDIP.
Detik-detik kejatuhan Gus Dur semakin dekat setelah Amien Rais memberi sinyal akan membentuk koalisi baru untuk menggantikan Gus Dur. Puncaknya terjadi pada Sidang Istimewa MPR yang dipimpin oleh Amien Rais, di mana Megawati resmi dilantik menjadi Presiden Indonesia ke-5 menggantikan Gus Dur.
Gus Dur akhirnya dilengserkan dari jabatannya setelah 21 bulan memerintah, dan situasi politik saat itu tegang dengan ancaman kerusuhan. Meskipun demikian, Gus Dur menahan massa pendukungnya untuk menghindari pertumpahan darah. Militer pun tidak mendukung Gus Dur pada saat itu, seperti terlihat dalam apel siaga pengamanan SI MPR di MONAS.