Novel Baswedan, seorang mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyarankan agar lembaga antirasuah mengungkap secara tuntas kasus suap Harun Masiku yang melibatkan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurut Novel, hal itu perlu dilakukan untuk menghentikan diskusi tentang dugaan politisasi.
seperti dikutip Kamis (9/1).
KPK telah menaikkan status Hasto menjadi tersangka dalam kasus suap dan penghalanan penyelidikan kasus Harun Masiku pada Selasa (24/12). Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan bahwa Hasto menyiapkan dan terlibat dalam upaya melempar gangguan terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan agar menetapkan Harun Masiku sebagai calon anggota DPR terpilih.
Penetapan tersangka itu menuai perdebatan. Beberapa politikus PDIP dalam beberapa kesempatan menyebut kasus Hasto sengaja dibongkar karena ada kepentingan politik. Meskipun demikian, Novel tidak melihat kasus itu dari perspektif politik tetapi dalam ranah penegakan hukum dalam hubungan pokok perkara dugaan suap yang dilakukan Hasto beserta Harun.
Berdasarkan Novel, dapat dipahami kalau ada pihak yang menyebutkan klarifikasi kejadian yang terkait dengan konflik atau kepentingan politik. Namun, menurutnya, dugaan tersebut belum tentu benar dan belum tentu ada kaitannya.
“Firli seperti mengalihfocus perhatian sehingga kasus ini tidak terungkap,” kata Novel.
Dia berpandangan, sebaiknya KPK menyingkapkan segala informasi dalam perkara tersebut untuk menghindari pengkhianatan. Menurut Novel, kasus Harun Masiku dan Hasto tidak bisa dianggap remeh dan dabaikan.
“Dengan kasus ini dianggap kecil, bagaimana dengan dugaan kause besar di balik ini? Saya rasa baiknya jika kasus ini diungkap secara tuntas agar semua jadi jelas. Dan baiknya KPK perlu bekerja dengan efektif, objektif, dan cepat,” kata Novel lagi.
Alat Politik
Pengungkapan kasus yang melibatkan Harun Masiku selama lama di KPK mendapat perhatian publik. Harun telah menjadi tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai kasus Hasto dan Harun tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Menurutnya hal ini karena posisi KPK yang dinilai semakin kurang independen.
Ia menyebutkan, beberapa kasus yang baru-baru ini ditangani KPK membuat lembaga itu tidak lagi dipercaya.
seperti dikutip Kamis (9/1).
Ia menyatakan, upaya yang dilakukan Hasto bukanlah mencari keadilan semata. Menurut Feri, kasus Hasto yang berlarut-larut dan sering dibangkitkan di tengah peristiwa politik malah membuat semakin jelas penilaian bahwa kasus ini dipolitisir.
“Saya tidak yakin pandangan di atas menggambarkan keabsahan hakim yang adil,” ujar Feri.
Harun ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019–2024 di KPU. Meskipun demikian, Harun Masiku selalu menghindari panggilan penyidik KPK.
Diajak terlibat dalam kehilangan Harun. Dalam penetapan tersangka KPK menyatakan Hasto menebus suap yang diberikan Harun kepada Wahyu Setiawan. Dia juga disebut telah menghambat penyelidikan KPK.
“Tindak pidana korupsi ditanggung oleh Saudara Hasto Kristiyanto bersama Harun Masiku dan teman-temannya,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers, Selasa (24/12).
Setyo mengungkapkan bahwa penyidik menemukan bukti keterlibatan Hasto setelah dilakukan penggelaran perkara pada Jumat (20/12). Namun, KPK baru mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) Nomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember.
Harun Masiku adalah mantan calon legislatif dari PDIP yang telah hilang selama lima tahun. Harun diduga telah menggunakan uang untuk membeli simpati Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat itu, Wahyu Setiawan, agar Harun ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang telah meninggal.
Wahyu sudah jadi tersangka utama dan menjalani hukumannya. Sementara Harun Masiku, orang tak lama setelah itu menjadi sasar yang dicurigai menduga menyamarkan harta yang patut diserahkan kepada KPK, bagi utang rampasan sekitar Rp 850 juta, masuk dalam Daftar Pencarian Orang.