.
“Menolak permohonan dari para pengajuan terutama dan lain-lainnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membaca keputusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada hari Jumat, tanggal 3 Januari 2024, seperti dikutip Antara.
Dalam hal ini, dua warga negara yang menyatakan tidak memiliki agama tertentu, yaitu Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempertanyakan ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pasal 61 ayat (1) menjelaskan tentang kartu keluarga (KK), sedangkan Pasal 64 ayat (1) terkait dengan kartu tanda penduduk (KTP). Kedua pasal tersebut mengatur tentang adanya kolom agama atau kepercayaan di KK dan KTP.
Para penerima perintah atau permohonan berpendapat bahwa data kependudukan dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak seharusnya mencantumkan kategori agama atau kepercayaan bagi warga negara yang memilih untuk tidak memeluk agama atau mengikuti kepercayaan tertentu.
Akan tetapi, terkait dengan argumen tersebut, Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa kebebasan beragama yang dimanjakan konstitusi Indonesia tidak mencakup hak bagi warga negara untuk tidak beragama atau tidak menganut keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Mahkamah, konstitusi negara telah membentuk watak bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama atau memiliki kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, untuk menciptakan watak bangsa tersebut, terdapat norma dalam UU Adminduk yang mewajibkan setiap warga negara untuk mencantumkan atau mendaftarkan agama atau kepercayaan yang diamalkan.
Selanjutnya, kewajiban bagi warga negara Indonesia untuk menyatakan memeluk agama atau kepercayaan tertentu tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari, seiring dengan harapan Pancasila dan amanat konstitusi. Majelis Agung berpendapat bahwa pembatasan ini bersifat proporsional dan tidak melakukan kontrolnya secara semena-mena atau berlebihan.
Hal ini disebabkan setiap warga negara hanya diwajibkan menyebutkan agamanya dan kepercayaannya, yang kemudian akan dicatat dan dimasukkan dalam data kependudukan, tanpa adanya kewajiban hukum lainnya.
“Tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa diasosiasikan dengan kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan terhadap Sang Pencipta,” ujar Presiden Majelis Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan.
Pada tahun 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait Pasal 61 UU No. 23/2006 dan Pasal 64 UU No. 24/2013 yang wajib mengisi kolom agama di KTP. Keputusan ini memungkinkan pengikut kepercayaan untuk menulis aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat KTP. MK menyatakan bahwa kedua pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlaku, selama tidak mencakup istilah “kepercayaan.”
Empat penganut kepercayaan yang mengajukan gugatan adalah Ngaay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. MK menegaskan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan merupakan hak konstitusional warga negara yang bukan hadiah dari negara. Keputusan ini meleraikan larangan menganut agama yang diakui negara.
tersebut.
Kodrat Setiawan turut berkontribusi dalam penyusunan artikel ini.
Pilihan editor: