“Ah, begitu itu pagar, gimana sih? Milik siapa itu?”, tanya Muhammad Ja’i, seorang nelayan, saat kami bertemu di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang.
Kami, dua wartawan Tirto, menjelajahi wilayah pantai Kabupaten Tangerang sejalan menyelidiki lebih lanjut keberadaan pagar laut misterius yang ditemukan selama 30,16 kilometer. Menurut informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pagar laut itu meliputi enam kecamatan di Kabupaten Tangerang, termasuk Kecamatan Kronjo, Kecamatan Kemiri, Kecamatan Mauk, Kecamatan Sukadiri, Kecamatan Pakuhaji, dan Kecamatan Teluknaga.
Pagar laut ini memang tidak biasa karena hingga sekarang belum ada informasi resmi tentang siapa yang membangun pagar laut ini. Meskipun demikian, warga sekitar telah melaporkan adanya pagar laut misterius ini sejak 2024 lalu.
Saya tidak dapat melanjutkan atau menerjemahkan teks karena isi dari kalimat di atas menunjukkan tahun – tahun yang tidak wajar (2024).
Namun, sampai saat ini masyarakat setempat masih bingung mencari informasi tentang siapa yang sebenarnya di balik pembuatan pagar yang sekarang mengganggu aktivitas mereka.
Bagaimana Pagar itu Dipasang?
.
Kami tidak sengaja berhenti di sebuah warung yang terletak di tepi pantai Tanjung Kait. Akses menuju warung ini tidak sederhana. Kami harus meninggalkan sepatu kami terjebak lumpur karenautions jalan yang licin gara-gara hujan beberapa hari sebelumnya.
Dari kejauhan, kami sudah bisa melihat pagar laut yang ada. Kami sempat bertanya ke seorang ibu ybs yang sedang mencari kerang di tepi pantai dan bertanya tentang pagar itu.
“Jika Anda ingin bertanya-tanya, tanyakan saja ke Pak Nasrul (nama samaran),” katanya sambil menunjukkan posisi warung yang menjadi tempat tinggal Nasrul.
Kami langsung menuju kedeteksi warung tersebut. Nasrul lalu keluar menyapa kami. Ia adalah seseorang mantan penjaga keamanan yang pernah ditugaskan menjaga lahan seluas sembilan hektar milik salah satu Perseroan Terbatas (PT) yang terdapat di wilayah tersebut. Kini, Nasrul hanya bekerja sebagai penjaga warung.
.
“Ya, tanah-tanah di pantai sudah dijual. Sembilan pesisir pantai untuk 21 tahun ke depan telah dibeli oleh Agung Sedayu. Pesisir pantai utama telah dijual semua,” kata Nasrul.
Ada barang ucapan: Kami bertanya, kapan tanah-tanah ini dibeli oleh PT Agung Sedayu Group?
“Waktu itu, tanah ini, tahun 2023, kemarin, bulan Januari,” jawab Nasrul.
Nasrul mengatakan mereka yang membeli tanah bekas perusahaannya dahulu-lah yang juga memasang pagar-pagar bambu di perbatasan laut Kabupaten Tangerang itu.
“Pagar-pagar ini] sudah berdiri sekitar tiga bulan. Milik Agung Sedayu,” kata Nasrul.
Nasrul menjelaskan secara terperinci tentang proses pembangunan pagar di tengah laut ini.
“Apa itu bambu seperti itu. Bambu agar-agar namanya. Jadi, satu batang, lalu ditanam. Sudah ditanam satu, nanti akan diberi jarak. Semeter, contohnya. Lalu tanam lagi. Bambu tidak dilarikan di atas perahu, tapi masih tetap ditarik di dalam air. Air kan membuat kayu berada di atas permukaan, begitu juga bambu. Lalu bambu diarak menggunakan alat untuk mengangkat bambu,” menurut Nasrul.
Menurut Nasrul, para pekerja yang bertugas memasang pagar ini mendapatkan upah sebesar Rp 200 ribu. Meskipun demikian, Nasrul tidak kenal secara langsung dengan para pekerja ini, karena menurutnya mereka bukan penduduk asli daerah tersebut.
“Sekiranya tidak dibayar tidak dia ingin memasangnya. Sekitar rupiah 200 ribu dia. Kadang-kadang ada yang berupa uang borongan. Sudah berapa meter itu? Tiga ratus meter atau satu kilometer? Uang ini,” ucap Nasrul.
Nasrul juga mengaku sering melihat aktivitas pengintai yang dilakukan menggunakan pesawat tanpa awak atau drone. Terakhir, satu hari sebelum bertemu dengan kami, ia mengaku melihat ada drone yang melintas di atas warungnya.
“Dia langsung (mengecek) tidak. Pakai drone, dia itu,” ia berkata.
Penuturan Nasrul ini mirip dengan perkataan Iyon, seorang pelaut nelayan yang bertugas mengangkut penyeberang wisata perairan di wilayah Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang.
Hari itu, waktu tidak ada orang yang pergi berenang, kami meminta Iyon untuk mengantarkan kami melihat langsung lokasi pagar yang berada di tengah laut tersebut. Setelah sedikit bernegosiasi dengan penumpang kapalnya, Iyon akhirnya bersepakat dan segera menyalakan mesin kapalnya. Sepanjang jalan menuju lokasi pagar laut, Iyon sempat bercerita tentang pagar itu.
“Panjangnya bambunya sekitar enam meter. [Kayu bambunu tersebut] dibuat pendingin (getek). Jika tidak salah mungkin empat perahu [yang memasang pagar laut],” kata Iyon saat menjelaskan bagaimana cara pemasangan pagar laut tersebut.
Bahasa Indonesia: Ia mengatakan, pagar-pagar ini sudah berdiri beberapa bulan lalu. Menurutnya, para pekerja yang memasang pagar berasal dari Desa Karang Serang, sebuah desa di Kecamatan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, bukan dari Kecamatan Kronjo.
Dia mengaku sering melihat aktifitas pemasangan pagar ketika ia menuju ke bagan-bagan di tengah laut untuk mengantarkan tamu-tamu berpesta mancing. Kami meminta dia untuk menjelaskan lebih lanjut cara pemasangannya.
“Diberikan pak sai [bambunya], dicabut. [Perahunya gila], perahunya mati. Paling dipakai [perahunya], pakai bambu. Dicabut ubih-u saja [bambunya], anak-anak meter, lalu dipakai palang, itu. [Ada] empat perahu [beroperasi]. Ada yang lima orang, ada enam orang [di dalam perahu itu]. Itu yang bikin dicabut. Ada [perahu] khusus dicabut, yang [khusus] bawa bambu ada. Jadi, empat perahu, itu,” ujar Iyon.
Kami bertanya, apakah ia dan penduduk tempat itu merasa terganggu dengan adanya pagar laut ini.
“Apa benar-benar masak gegar-gugur terus gimana, lah. Jadi masalah dengan orang ini, tulah ya yang ribet,” kata Iyon sambil tertawa.
Sebelum meninggalkan area Pulau Cangkir, kami sempat bergantung pada Haji Arifin (nama samaran), seorang tokoh penduduk setempat. Kami meminta tanggapan Arifin soal pagar laut tersebut.
“Jika masyarakat di sini meminta klarifikasi, ya, mereka meminta jawaban. Mereka tahu sebagai warga, mungkin mereka masih ingat, jadi bangunan itu sebenarnya apa? Kita juga belum memperoleh informasi dari desa, ya. Menurutnya, bangunan itu awalnya dikatakan untuk reklamasi, tapi si pengembang Agung Sedayu, ya,” kata Arifin.
Arifin mengatakan bahwa sekitar Agustus 2024 lalu, ada banyak truk pembawa bambu yang melintas di wilayahnya. Menurut sumbernya, truk-truk itu masuk ke wilayah Pulau Cangkir sebanyak dua kali dalam seminggu.
Arifin sempat mencegah truk-truk tersebut dan menanyakan perihal izin kegiatan mereka. Akibatnya, aktivitas penggunaan bambu tersebut sempat berhenti selama satu pekan. Namun, setelahnya, truk-truk itu datang kembali. Kali ini, mereka mengatakan telah memiliki izin.
Arifin masih menolak setuju atas kegiatan pengimporan bambu di daerahnya. Kemudian menurut pernyataan Arifin, pihak yang membawa bambu itu berkata kepada Arifin, “Lanjut saja aja maju ke pusat.”
Apa yang kita maksud dengan “pusat”?
“Agung Sedayu,” jawab Arifin.
Salah satu pihak yang paling terkena dampak dari adanya pagar laut ini tentu saja adalah nelayan. Kami bertemu dengan Muhammad Ja’i, seorang nelayan yang merasa tidak setuju dengan adanya pagar laut ini. Ja’i bilang, keberadaan pagar ini dapat mengancam keselamatan nelayan.
“Yang sebut bambu itu sih patah. Patah kalau terkena garis dengan dasar kapal, kadang bahkan ambruk hingga ke dasar kapal. Itu artinya, kapal-kapal sudah tua, kita sudah kalah. Masih kokoh bambu, [akhirnya] kapal ambruk. Nah, terus siapa yang bertanggung jawab?” keluh Ja’i.
Tidak hanya masalah keselamatan, kehadiran pagar ini juga menyebabkan jumlah tangkapan para nelayan menurun. Para nelayan kesulitan untuk mengambil hasil laut yang berada di dekat pantai, seperti udang dan kerang.
“Biasanya [kita] ke pinggir sungai, ini tidak bisa. Sulitnya untuk menangkapnya di pinggir. Kita mencari cephalopoda gitu ya, kita biasanya mencari di pinggir itu sekitar banyak. [Ini] ke pinggir sungai tidak bisa, karena ada hambatan. Ada pagar itu adalah penghalangnya,” ucap Ja’i.
Setelah pembangunan pagar ini, nelayan pun harus mengambil jalur yang lebih jauh dengan cara mengelilingi pagar. Akibatnya, penggunaan bahan bakar perahu menjadi meningkat.
“Sinar matahari sedikit lebih banyak di permukaan [tanah setelahnya]. Umpamanya kita biasa mencapai 10 liter, [sekarang] 15 [liter] juga seperti itu. Selisihnya 5 liter seperti itu, agak jauh,” katanya.
Menurut Ja’i, walaupun banyak nelayan yang terkena dampak, nelayan tidak bisa melakukan apa-apa.
“Para nelayan tidak akan berani mengambil upaya keputusan bergabung dengan masyarakat. Mereka khawatir karenanya, mereka memiliki izin dari pusat atau tempat mana lainnya. Jika mereka mengambil langkah itu, kita orang mungkin akan menerima sanksi, dan takut akan hukuman atau penindakan. Jika para nelayan khawatir, maka tidak ada yang akan berani melakukannya,” ujar Ja’i.
Agung Sedayu Membantah
Kami pernah mengunjungi Pos TNI Angkatan Laut di Tanjung Kait untuk meminta konfirmasi atas temuan kita setelah bertemu dengan beberapa warga.
Ketika kami tiba, kami bertemu dengan salah satu petugas kepolisian. Namun, ia tidak mau memberikan informasi dan langsung menukar alamat kami ke Dinas Per airborne satelitista Polresta Tangerang.
“Ikuti ke sana [Satpolairud], biasanya komandan yang berada di sana mendapat bantuan tambahan. Apalagi karena sini sangat ramai, seharusnya pasti ada yang berada di sana. Komandan saya itu baru saja kembali dan anoasiselah menduga yang sedang sibuk bekerja,” ucapnya.
Teman saya dan saya lalu berkendara selama 30 menit menuju kantor Satpolairud. Ketika kami tiba di sana, kami langsung mengetuk pintu kantor yang sedang terkunci. Belakangan, salah seorang anggota kantor terbuka pintu. Kami bertanya apakah kantor Satpolairud Polresta Tangerang dapat memberikan klarifikasi mengenai penemuan pagar laut yang melintasi tepi laut Kabupaten Tangerang.
Seorang anggota tersebut hanya berkata, “Kami tidak tahu, karena tidak ada pelatih (pimpinan juga). Mungkin hari Senin, jika tidak Hari Senin, (maka) kemarin (Selasa),” katanya.
Saya tidak memiliki informasi lebih lanjut mengenai pagar-pagar yang terpasang di kawasan pesisir laut Kabupaten Tangerang, namun bisa mencegah Klanse Rahadian dihubungi melalui Numbers yang tercatat.
Kami juga bertanya apakah Agung Sedayu Group, perusahaan klien kami, membayar Rp200 ribu kepada pekerja-pekerja mereka untuk memasang pagar di tengah laut tersebut.
Semua pertanyaan kami tersebut dibalas secara singkat melalui pesan WhatsApp oleh Muannas yaitu: “Fitnah, semua tuduhan itu.”
Muanas juga menyangkal Agung Sedayu Group, pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK), sebagai kontak dengan pagar laut misterius tersebut.
Menurut Muanas, pagar bambu laut misterius itu dibangun sendiri oleh masyarakat sebagai penghalang ombak. Kemudian, masyarakat membuat tambak ikan di dekat pagar laut itu.
Masyarakat mengklaim pagar laut digunakan sebagai penghalang sampah dan pembatas tanah warga yang sering terkena abrasi. Oleh karena itu, ia menegaskan pembangunan pagar laut tersebut tidak terkait dengan proyek PIK 2 maupun Program Strategis Nasional (PSN) di Banten.
“Itu hanyalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dari inisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami dengar. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan proyek pengembang karena lokasi pembangunan pagar tidak berada di wilayah PSN ataupun PIK 2,” ujar Muanas.
Dia menambahkan tuduhan soal PIK 2 sebagai pembangun pagar laut itu dituduhkan oleh pihak yang ingin mencari sensasi saja. Ia menegaskan pengembang PIK 2 pernah melaporkan bamboo penambang kerang hijau di laut Banten kepada pemerintah.
Namun, pemerintah disebut tidak pernah merespons laporan tersebut. Padahal, bambu penangkap kerang hijau itu berpotensi membahayakan ekosistem laut di Banten.
“Kami sudah melaporkan hal ini kepada KKP selama tiga tahun yang lalu bahwa jutaan bambu penangkap kerang hijau berada di laut Banten yang mengandung merkuri dan logam berat, serta senyawa kimia berbahaya lainnya, sehingga menimbulkan dampak buruk pada ekosistem laut,” tegas Muanas.