Beberapa minggu yang lalu, ada video yang beredar menunjukkan seorang pria bernama Anang mengaku bertemu harimau. Saat itu ia sedang menyemprot tanaman di tepi hutan dekat Jawa Tengah-DIY, saat pandangannya menangkap dua harimau yang besar dan kecil sambil berbaring.
Menurutnya, hewan yang dilihat adalah harimau karena memiliki pola loreng di tubuhnya. Di sini, hanya menyangkut pertengahan ukuran panjang badan harimau, sejalan dengan ukuran kambing, tetapi lebih gemuk dan kekar.
Beberapa petani menyampaikan kesaksian yang sama, seperti Damin yang mengatakan telah melihat harimau berukuran seperti kambing di hutan tempat dia tinggal di sekitar Gunung Wilis. Kesaksian lainnya adalah dari penjaga hutan yang baru-baru ini bekerja di Ujung Kulon, dia menyampaikan bahwa pernah melihat harimau sebesarSeekor anjing herder.
Hal ini memberikan pertanyaan, apakah benar bahwa mereka melihat harimau, atau macan tutul dengan ukuran tubuhnya yang lebih kecil, sehingga bisa menyerupai kucing. Atau bila benar harimau yang dijumpai, apakah spesies harimau endemik di Jawa terus mengalami penurunan ukuran tubuhnya?
Ini menarik dibahas karena menurut catatan, ukuran harimau Jawa adalah yang terbesar dibandingkan harimau Sumatra dan harimau Bali.
Menurutnya, menurut foto-foto harimau yang mati ditembak dahulu, tampaknya ukurannya agak besar, bahkan lebih besar dari ukuran harimau sumatra yang ditemukan saat ini.
Gambaran morfologi ukuran tubuh yang dapat dicapai oleh harimau Jawa antara lain terlihat dalam foto dokumen tahun 1957, yaitu foto seorang pemburu bernama Oscar bersama harimau encianya di Kendeng Lembu, Banyuwangi. Dalam foto itu, terlihat betapa ukuran tubuh harimau Jawa sendiri sangat besar, tapak kakinya sebesar wajah manusia, yang katanya mampu membunuh seekor sapi dengan satu kali tendangan.
Berbagai catatan dari peneliti Belanda juga menyebutkan bahwa ukuran rata-rata harimau Jawa lebih besar daripada harimau Sumatera dan harimau Bali bahkan agak lebih besar dari harimau Malaya dengan panjang rata-rata 200-245 cm. Berat jantan berkisar antara 100-140 kg dan berat betina berkisar antara 75-115 kg.
Kisah ukuran harimau Jawa juga mencakup dalam Babad Lakbok, sebuah naskah sejarah yang ditulis oleh R. Muh. Sabri Wiraatmadja mulai tahun 1925 dan menyelasaikan tahun 1937.
Lakbok adalah nama tempat yang awalnya mengacu pada adanya harimau besar di sana. Menurut R. A. Danadibrata dalam Kamus Bahasa Sunda, “Lakbok” adalah bahasa Sunda kuno yang berarti biawak nu gedé pisan (harimau yang sangat besar).
Nama ini diberikan pada seekor harimau besar yang tinggal di daerah lahan gambut di Ciamis. Ketika hutan dan rawa dialihfungsikan menjadi permukiman dan lahan pertanian, hewan-hewan terpaksa meninggalkan tempat tersebut, termasuk lakbok.
Harimau besar yang mulai kehabisan tempat bersembunyi itu kabur ke hutan Cimadang di daerah Padaherang dan menyerang manusia, namun akhirnya tertimbun pemburu.
Dalam jurnal Planning Tiger Recovery: Understanding Intraspecific Variation for Effective Conversation, Wilting et al. Sci. Adv. 2015;1:e1400175, juga disebutkan bahwa harimau Jawa merupakan subspesies terbesar di Kepulauan Sunda, diikuti oleh harimau Sumatera dan harimau Bali.
Lalu mengapa orang-orang yang mengaku memiliki pertemuan dengan harimau loreng menjelaskan ukurannya hanya sebesar kambing saja?
Menurut Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wirdateti, mamalia karnivora seperti harimau bisa berkembang menjadi lebih kecil karena jumlah mangsa yang semakin sedikit, sehingga ukuran tubuh keturunannya menyesuaikan diri.
yang akhirnya mempengaruhi keturunannya, di antaranya menjadi lebih kecil.
“Belakangnya mempengaruhi pertumbuhan keturunannya,” kata Widarteti pada Desember 2024.
Pernikahan antara seseorang yang berkerabat dekat, dapat menimbulkan dampak negatif pada mamalia. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa inbreeding dapat memengaruhi kesehatan, reproduksi, dan kelangsungan hidup baka mamalia.
Mengurangi variasi genetik dalam populasi. Ini terjadi karena individu yang bersetubuh telah memiliki alel yang lebih seragam. Kondisi menurunnya keragaman genetik membuat populasi lebih rentan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, karena mereka memiliki kemampuan adaptasi yang terbatas.
Orang-orang yang hasil dari pernikahan dalam keluarga sering menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah, pertumbuhan lambat, atau kelemahan fisik.
Di kalangan populasi kecil, kerawanan hibrida dapat mempercepat penurunan jumlah individu, meningkatkan risiko kepunahan karena ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan atau serangan penyakit.
Hal itu sesuai dengan pernyataan ekolog satwa liar dan juga peneliti harimau, Sunarto. Menurutnya, agar dapat bertahan hidup dan terus berkembang biak dalam jangka waktu yang panjang, ada populasi minimal dari suatu jenis satwa dan itu harus memiliki minimal 50 ekor untuk melawan sindrom kawin sedarah, serta 500 individu untuk menjaga kestabilan genetik.
Artinya, jika yang ditemukan para saksi itu adalah benar-benar harimau Jawa, maka hips yang kecil dapat diduga akibat variasi genetik yang terbatas karena jumlah individu yang sangat sedikit.