Pekanbaru, SERANTAU MEDIA — Di tengah hamparan hijau hutan Riau, tempat gema riaknya sungai dan bisikan angin di antara pepohonan raksasa, terbentang kisah luar biasa tentang harmonisasi. Bukan sekadar narasi konservasi biasa, melainkan sebuah epik tentang bagaimana perusahaan migas PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) merangkul dan melindungi penghuni asli hutan: Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus).
Dahulu, kawasan migas PHR di Blok Rokan kerap menjadi saksi bisu konflik antara gajah dan manusia. Deru alat berat pembukaan lahan-lahan sawit, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas kendaraan masyarakat tak jarang membuat rombongan gajah terkejut, panik, dan berakhir dengan interaksi negatif. Bahkan suara ledakan petasan jumbo menjadi simfoni menakutkan bagi kawanan gajah sumatra yang kerap melintas perkebunan warga di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Kawanan gajah yang bingung mencari jalur migrasi, seringkali justru tersesat ke permukiman warga atau area perkebunan, memicu ketegangan dan kerugian di kedua belah pihak. Status gajah sumatra sebagai spesies yang terancam punah (critically endangered) semakin menambah getir senandung sedih dari jantung hutan Riau.
Suparto, seorang petani sekaligus Sekretaris Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya, telah menjadi saksi hidup transformasi hubungan manusia dan gajah di kawasan Blok Rokan ini. Sebagai pemilik lahan dan perkebunan di area yang bersempadan dengan kantong gajah Balairaja, Suparto awalnya ikut-ikutan menggunakan petasan jumbo untuk mengusir kawanan gajah liar. Namun, seiring meningkatnya kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, ia pun mulai meragukan efektivitas cara yang justru menyakiti hewan mamalia tersebut.
Program Konservasi Multispesies yang dikembangkan oleh PHR berfokus pada pembinaan habitat satwa dan agrosilvopastura bagi masyarakat sekitar. Program ini pun mendapatkan dukungan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
Dalam pembinaan habitat satwa, PHR menanam berbagai jenis tanaman yang menjadi pakan gajah. Dimulai dari rumput odot (Pennisetum purpureum) hingga berbagai jenis tanaman buah manis yang disukai gajah. Penanaman ini melibatkan pula masyarakat sekitar sehingga gajah merasa nyaman berada di habitatnya dan tidak mencari pakan hingga ke pemukiman.
PHR juga mengembangkan agrosilvopastura yang berpotensi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat serta menjadi barier interaksi negatif antara manusia dengan gajah. Berbagai tanaman produktif yang memiliki nilai keekonomian tinggi namun memiliki aroma yang tidak disukai gajah seperti petai dan jengkol.
Bersama anggota KTH lainnya, Suparto saat ini menjadi bagian dari program Konservasi Multispesies PHR Zona Rokan. “Kami diberikan edukasi oleh PHR dan mitra pelaksananya RSF, hingga terbentuklah KTH Alam Pusaka Jaya ini,” kenangnya.
Manager Community Involvement and Development (CID) PHR Regional 1 Sumatra, Iwan Ridwan Faizal menjelaskan, bahwa upaya-upaya konkret tersebut merupakan implementasi dari program pelibatan dan pemberdayaan masyarakat. PHR terus berupaya melindungi dan melestarikan gajah dan habitatnya.
Inisiatif program konservasi multispesies ini memiliki dampak yang multi dimensi. Selain mendukung pengurangan emisi karbon melalui penanaman pohon, menjaga keanekaragaman hayati, memberdayakan ekonomi masyarakat, juga memperbesar ruang di mana gajah dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian ruang-ruang yang berpotensi konflik akan mengecil.
Kisah PHR sebagai Sahabat Gajah adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana perusahaan juga dapat menjadi agen perubahan positif. Program konservasi ini menjadi investasi jangka panjang untuk masa depan lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem, melestarikan warisan alam, dan memastikan bahwa generasi mendatang dapat tetap menyaksikan satwa ini berkeliaran bebas di habitat aslinya.