banner 728x250

Mengenal Micro-retirement, Tren Jeda Karier di Usia Produktif

banner 120x600
banner 468x60

“Ini menurut saya, kita masih dikelas pertengahan, bukan muda dan tidak tua, jadi menyesal jika kita menghabiskan umur kita di kantor yang menelan banyak waktu,” kata Jasmine. Perempuan berusia 30 tahun ini telah menghabiskan sekitar satu tahun terakhir untuk mengambil gap year.

A “gap year” or more recently called “micro-retirement” or “mini-retirement”, refers to a phenomenon where young working adults take a break from their career for several months, and even for several years, to address burnout or job boredom in a corporate environment.

banner 325x300

“Pengalaman di kantor kemarin memang sangat riil ya, karena meskipun jam kerjanya biasanya delapan pagi sampai lima sore, tapi budayanya lebih keras, setelah jam lima pun masih menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Selain itu juga ada kesibukan untuk menyelesaikan acara rapat, segala bentuk dan kebutuhan lainnya,” kata Jasmine. Semua situasi di kantor itu membuatnya menghadapi kesulitan untuk mengatur waktu untuk berolahraga, sesuatu yang menjadi prioritas hidupnya.

“Hidup itu sepertinya hanya tentang kantor, kantor saja,” kata Jasmine lagi. Kondisi seperti ini membuatnya merasa tidak bisa berkembang dan dip盤bengkali dengan pekerjaan sekarang.

Jasmine akhirnya setelah melakukan perhitungan dan menimbang semua risiko, memutuskan untuk pensiun (mengundurkan diri) dari pekerjaannya. “Saya membutuhkan waktu bagi diri sendiri untuk memikirkan apa yang benar-benar saya inginkan. Saya yakin dan sadar bahwa saya tidak ingin stres dan terjebak selamanya di perusahaan itu,” kata dia lebih lanjut.

Tentu saja mungkin belum dengan mudah diakui di Indonesia, fenomena retirement mikro telah menjadi kata lagi populer baru dalam dunia kerja global. Ini mencerminkan pemikiran lain sering-ish yang dilalapai melalui media sosial, terkait keserasian pekerjaan dan kehidupan sehari-hari (work-life balance) di kalangan generasi muda.

Sebelumnya, tren seperti “great resignation”, “quiet quitting”, dan “coffee badging” sempat menjadi istilah-istilah baru terkait dunia kerja.

.

Bagi sebagian orang, menurut dia, ini adalah kesempatan untuk menghindari keputus asa dan mengejar “keinginan pribadi” di luar kantor. Sementara bagi orang lainnya, ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk memulai pekerjaan sampingan tambahan.

Beberapa tren dan upaya mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, seperti istirahat singkat yang populer baru-baru ini, adalah konsekuensi dari burnout, masalah kelelahan akibat pekerjaan yang sempat melonjak dalam beberapa bulan terakhir selama wabah COVID-19.

, menyebut 44 persen responden mengaku mengalami kelelahan mental di pekerjaannya Sebuah survei terhadap 1.405 orang pekerja di Amerika Serikat juga menyebut 45 persen juga mengaku merasa kehabisa energi secara emosional oleh pekerjaan mereka.

Menunjukkan sekitar 60 persen pekerja mengalami burnout. Hal ini ditandai dengan kelelahan emosional, hilangnya identifikasi diri sendiri, dan penurunan kemampuan kerja.

Baca juga:

Tren Micro-retirement di Indonesia

Tetapi di Indonesia, tren ini diperkirakan tidak akan meledak. Pendiri dan Direktur Utama PT Headhunter Indonesia, Haryo U Suryosumarto, mengatakan rasanya tidak akan banyak anak muda yang berani melakukannya dan seperti itu di kondisi saat ini.

“Saya melihat bahwa micro-retirement ini tidak akan seMini seperti pengunduran diri diam-diam beberapa tahun lalu. Karena sekarang para Millenial dan Gen Z mulai menyadari bahwa kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, PHK di mana-mana, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat mereka mungkin belum berani melakukan micro-retirement,” katanya saat dihubungi Tirto, Rabu (8/1/2025).

Dia mengatakan perlu persiapan dan pertimbangan yang matang untuk berani mengambil micro-retirement. Langkah untuk kembali ke dunia kerja akan semakin sulit. “Kekhawatiran terkait kembali ke dunia kerja akan menjadi jauh lebih menantang,” katanya.

“Sebab ada beberapa. Tapi ada juga rekruter yang overthinking, lalu menyimpulkan kalau orang ini mentalnya kurang tangguh,” tambahnya.

Celakanya, persepsi rekruter itu berbeda dengan apa yang disarankan, sehingga tidak peduli selogis apa pun yang menjelaskan tujuan dan manfaat micro-retirement, kemungkinan besar masih bisa dianggap negatif.

Jasmine, sebagai pelaku micro-retirement juga menyetujui hal ini. Menurutnya, lingkungan di masyarakat sekitar saat ini masih menaruh stigma buruk terhadap orang-orang yang mengambil gap year.

Menurutku, lingkungan kita terlalu sering meletakkan pemikiran negatif terhadap orang yang menganggur. Lingkungan kita sedemikian sibuknya, sehingga ketika mengetahui ada orang yang menganggur,_plugins pembaca langsung menaruh prasangka buruk.

Menurut Jasmine selama masa micro-retirement-nya ada beberapa hal positif yang dia alami. Dia yang biasanya kebingungan membuat keputusan hidup, jadi bisa mencoba banyak hal. “Saya tahu apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup. Saya menemukan apa yang saya suka,” kononnya.

Jasmine pernah cerita mantannya, dulu dia pernah mengambil sertifikasi untuk menjadi pelatih bersepeda, dan juga sempat mencoba mengembangkan kemampuan data analytics. Hal-hal tersebut tidak terbayang akan dia dapatkan jika sedang menikmati pekerjaan kantornya. Dia mengaku telah menguasai beberapa keterampilan baru. Selain itu, dia juga mengaku mendapatkan lebih banyak waktu untuk habiskan bersama keluarga.

“Negatifnya paling, ya gue nggak punya penghasilan sih jadinya. Setiap hari menggali tabungan dan menjadi khawatir dengan finansial,” ujarnya.

Jasmine bukannya tanpa persiapan. Sebelum yakin ambil gap year, dia telah mengalokasikan banyak dana dan menabung di beberapa tempat untuk memastikan hidupnya. Sekarang, setelahmulai menemukan jati dirinya, Jasmine merencanakan untuk mencari pekerjaan lagi.

“(Tapi) mungkin sudah tidak mungkin ke pekerjaan korporat sih. Aku akan fokus mencari pekerjaan yang bekerja jarak jauh yang memungkinkan aku memiliki waktu cukup untuk mengembangkan diri di banyak aspek,” ujarnya.

Sementara itu, Haryo dari Headhunter Indonesia mengatakan, hal yang berbahaya dari tren semacam ini adalah orang-orang yang mengambil keputusan untuk sekadar mengikuti tren.

Aku pikir tahu sapa-sapa sih apa yang sedang tren di kalangan pekerja sekarang, dari noui medsos,” ujarnya. “Tapi beberapa sifatnya kan baik banget deh, tapi kalo gini kan aku cuma meniru tanpa votre tahu apa itu, mengapa, dan seterusnya? Bisa berpengaruh pada diri sendiri sih.

Baca juga:
banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *