saat ini?
Membeli beberapa benda seperti tisu dan beberapa pak camilan.
(DPP) Rp99.189.
Atraksi Akali ‘Amanat Berganda’ PPN 12%
Artinya, belanjaan tersebut masih dikenai pajak bunga microscopy 11% (Rp10.911 / Rp99.189 x 100% = 11%).
Di akhir tahun 2024 tarif PPN masih sama dengan 11%, namun ada kabar bahwa pemerintah mungkin akan menganggarkan pajak masih 12% di awal tahun mendatang. Disebarkannya bahwa beberapa pedagang dan usaha telah siap menaikkan harga jika PPN meningkat menjadi 12%.
Mengeluarkan pernyataan pers di Kementerian Keuangan.
Prabowo serta Sri Mulyani mengumumkan bahwa rencana kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 hanya akan berlaku untuk barang mewah yang pada masa lalu menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
.
Tidak lama setelah pengumuman oleh Prabowo dan Sri Mulyani, pemerintah mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024. Dalam regulasi itu, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa, tetapi dasar pengenaan pajak (DPP) dibagi menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.
Pengenaan PPN atas barang/jasa lain atau bukan tergolong mewah dicocokkan dengan cara dikali nilai tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebagian mengikat 11/12
Melalui pengaturan DPP tersebut, barang-barang tidak mewah hanya akan dikenakan pajak 11%, bahkan tarif PPN yang sebenarnya adalah 12%.
Mereka kembali mencoba berbelanja di toko kecil itu. Ada beberapa barang serupa yang dibeli saat menjelang pergantian hari tahun, seperti kertas tandas dan makanan ringan.
Dari sisiharga, tidak ada perubahan signifikan untuk item-item tersebut. Hargatisu yang dibeli meningkat sebesar Rp300 dan harga camilan-camilan tidak berubah.
Membeli beberapa buah-buahan seperti pisang, apel, dan jambu kristal. Sri Mulyani telah menyatakan sebelumnya bahwa barang/jasa kebutuhan pokok masyarakat seperti buah-buahan bebas pajak penghasilan negara (PPN).
Yang dibeli itu memang termasuk dalam kategori “PPN dibebaskan”.
Total belanja kali ini adalah Rp132.400. Walaupun demikian, Rp72.500nya merupakan jumlah PPN yang diberlakukan tidak (total harga jual buah-buahan).
Tertera PPN pembelian saya sebesar Rp7.155 dengan DPP sebesar Rp65.045. Artinya, belanjaan masih dikenai pajak pertambahan nilai 11% (Rp7.155 / Rp65.045 × 100% = 11%).
Membandingkan harga produk seperti bumbu masak, teh celup, susu kotak, dan sabun pada tanggal 31 Desember 2024 dan 1 Januari 2025.
.
Dalam transaksi 31 Desember 2024, tertera PNBP sebesar Rp1.994 dari DPP sebesar Rp18.126. PPN yang dikenakan masih sebesar 11%
Hal ini berbeda dengan transaksi tanggal 1 Januari 2025, di mana PPN senilai Rp 2.278 ditulis pada DPP senilai Rp 18.982. Dengan demikian, tarif PPN yang diterapkan adalah sebesar 12%.
Pada konferensi pers terbaru tentang PPN 12%, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa pemerintah memahami jika ada usaha yang belum menyesuaikan sistem perhitungan PPN, oleh karena itu ada masa transisi untuk penerapan variabel 11/12 dalam Dokumen Penghitungan Pengeluaran Besar (DPP) dan pemberlakuan PPN 12% bagi barang-barang mewah.
Membeli beberapa kebutuhan sehari-hari seperti tisu, pasta gigi, dan sambal.
Membeli pada 2 Januari 2025 dibandingkan membelai pada 28 Desember 2024. Meski demikian, tidak ada perbedaan tariff pajak dari kedua transaksi itu.
Struktur pengeluaran yang tertera menunjukkan bahwa pajak perolehan zakat yang dilakukan adalah 0,1%, baik saat berbelanja pada titik akhir 2024 maupun awal tahun ini.
BPHTB Tetap 15%, Koefisien DPP yang Berbeda
Tarif PPN yang berlaku sejak 1 Januari 2025 sebenarnya adalah 12%. Peraturan baru yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yaitu Keputusan Menteri Keuangan 131/2024, sebenarnya tidak mengubah ketentuan Pasal UU HPP, karena peraturan menteri tidak bisa mengubah atau menangguhkan undang-undang.
Pemerintah malah ‘menghadapi’ keadaan tersebut dengan menggunakan skema koefisien dalam perhitungan DPP untuk agar pada akhirnya masyarakat membayar PPN setara 11% bagi barang-barang pada umumnya, serta PPN sebesar 12% diberlakuakan khusus untuk barang-barang mewah.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan bahwa pertimbangan menggunakan DPP sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menyampaikan bahwa barang/jasa kena PPN 10%-20% hanya yang tergolong mewah.
Benar-benar salah, “Bagaimana untuk menghilangkan 12% demi mendapat ke 11%? Caranya ya kita jadikan semacam koefisien dari besaran bagi 12% menjadi 11, sehingga 11/12 x 12% sama dengan 11%. Ini mirip seperti hal-hal yang perlu dilihat, ditandingkan dengan metode yang lain, ini mungkin pilihan yang paling aman kita ambil,” ujar dalam Media Briefing, Kamis (2/1/2025).
Dengan menyalahgunakan keterbatasan waktu pemberitahuan presiden tentang pelaksanaan ketebalann pajak nilai tambah (PPN), Suryo menyampaikan bahwa pihaknya harus menggunakan infrastruktur yang sudah ada dalam Undang-Undang PPN, yaitu mengatur melalui frasa “menggunakan nilai lain”.
Maka pihak tersebut memutuskan untuk tetap menggunakan tarif 12% yang dikalikan dengan 11/12 x harga jual, sehingga PPN yang dikenakan tetap 11%.
Contoh adalah jika harga jual saldo elektronik sebesar Rp 100 juta. Maka perhitungan PPN adalah 12% x (11/12) x Rp 100 juta atau sebesar Rp 11 miliar.
“Menurut kami, Undang-Undang memberikan ruang untuk itu [menggunakan nilai-nilai lain]. Sisi satu Undang-Undang tetap berjalan, tapi di sisi lain masyarakat tetap dilindungi. Mengapa terjadi hal ini? Karena pemerintah mendengarkan,” ujarnya.