Lemang tapai, makanan khas Riau, menjadi primadona warga setiap bulan Ramadan. Hidangan bertekstur kenyal ini memiliki proses pembuatan yang sederhana, tetapi membutuhkan ketelitian dan keahlian khusus.

Salah seorang perajin lemang tapai, Devi Fitrianti, warga Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Pekanbaru Kota, membagikan kisahnya dalam memenuhi pesanan pelanggan yang meningkat selama Ramadan.

Sejak pagi, Devi sudah sibuk menyiapkan lemang. Dengan tangan terampil, ia mengolah bahan-bahan seperti beras ketan, santan, garam, bambu, dan daun pisang menjadi lemang yang lezat.

Proses pembuatan dimulai dengan menyiapkan bambu khusus yang telah dilapisi daun pisang, kemudian beras ketan dimasukkan dan dituangkan santan yang sudah diberi garam. Setelah itu, bambu dibakar dengan api sedang. Tahap ini menjadi kunci utama, karena bambu harus diputar secara berkala agar lemang matang merata. Proses pembakaran ini memakan waktu hingga lima jam.

“Pemilihan bambu sangat penting karena memberikan aroma sedap yang khas saat lemang matang. Kalau bambunya kurang bagus, lemang bisa mudah hancur atau rasanya kurang nikmat,” ujar Devi.

Di bulan Ramadan, permintaan lemang meningkat pesat. Jika biasanya Devi dan suaminya memproduksi sekitar 30 batang lemang per hari, saat Ramadan jumlahnya melonjak hingga 50 batang.

Lemang buatannya dijual dengan harga mulai dari Rp50.000 hingga Rp150.000 per batang, tergantung ukuran bambu. Selain itu, ia juga menyediakan lemang potong kecil seharga Rp5.000 per potong, lengkap dengan tapai yang dijual dengan harga serupa.

Menurut Devi, salah satu tantangan dalam membuat lemang adalah menjaga kualitas rasa dan teksturnya. “Membuat lemang itu memang terlihat sederhana, tetapi butuh ketelatenan. Kalau terlalu lama dibakar, lemangnya jadi keras. Kalau kurang lama, jadi lembek. Saya selalu berusaha menjaga kualitas agar pelanggan tetap puas,” tambahnya.

Salah seorang pelanggan setia, Murniati (45), mengaku selalu membeli lemang tapai dari Devi setiap Ramadan. “Lemangnya enak, tapainya juga manis dan legit. Saya dan keluarga selalu menikmati ini saat berbuka puasa,” ujarnya.

Keunikan lemang tapai ini terletak pada teksturnya yang kenyal dan rasanya yang khas, meskipun hanya dapat bertahan selama tiga hari. Meski begitu, pesona makanan tradisional ini tak pernah pudar. Pesanan lemang buatan Devi bahkan telah menjangkau Batam, Jakarta, hingga Malaysia.

Sementara itu, Haryanto (52), warga Pekanbaru, menilai keberadaan perajin lemang seperti Devi sangat penting dalam menjaga warisan kuliner daerah. “Sekarang sudah banyak makanan modern, tapi makanan tradisional seperti lemang tapai ini tetap dicari. Harapan saya, lebih banyak generasi muda yang mau belajar membuatnya agar tidak punah,” katanya.

Bagi Devi, membuat lemang bukan sekadar mencari penghasilan, tetapi juga upaya melestarikan warisan kuliner Riau. Dengan kerja keras dan dukungan suaminya, usaha kecil ini terus berkembang, terutama di bulan suci Ramadan yang penuh berkah.