Pacu Jalur Kembali Meriahkan Kuansing Bagi para perantau asal Kuantan Singingi (Kuansing), ada dua penanggalan keramat yang selalu bersemayam di lubuk hati mereka: Lebaran Idul Fitri dan pergelaran Pacu Jalur. Jika Lebaran adalah panggilan suci untuk kembali ke pangkuan keluarga dan merayakan kemenangan spiritual, maka Pacu Jalur adalah sebuah deklarasi budaya, sebuah festival yang menderu, memanggil setiap jiwa Kuansing untuk kembali ke akar mereka, merasakan denyut nadi kampung halaman yang tak pernah mati.
Di tengah gemuruh sorak sorai dan riuhnya tepuk tangan, Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan mendayung perahu panjang. Ia adalah jalinan emosi, untaian cerita yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah kanvas tempat silaturahmi diukir, di mana tawa renyah bercampur dengan helaan napas lega, dan air mata haru bertemu dengan senyum kemenangan. Setiap dayungan adalah detak jantung kebersamaan, setiap lintasan adalah napak tilas kenangan.
Bayangkanlah, di sepanjang Sungai Kuantan yang membelah Bumi Kuansing, puluhan bahkan ratusan "jalur" – perahu kayu berukuran raksasa yang panjangnya bisa mencapai 30 hingga 35 meter, dihiasi ukiran indah nan menawan – meluncur gagah bak naga air. Di atasnya, puluhan pendayung berotot, serentak mengayuh, menyatukan ritme dan kekuatan demi kehormatan desa mereka. Mereka bukan hanya atlet, mereka adalah penjaga tradisi, duta-duta dari kampung halaman yang menopang harapan seluruh masyarakat di pundak mereka.
Pacu Jalur adalah pesta rakyat yang tak mengenal kasta dan usia. Dari anak-anak kecil yang terpukau melihat jalur melesat di hadapan mereka, hingga para sesepuh yang matanya berkaca-kaca mengenang masa muda mereka di atas jalur. Di tepi sungai, lautan manusia tumpah ruah, riuh rendah dengan teriakan semangat dan tawa canda. Aroma masakan tradisional berbaur dengan semerbak keringat perjuangan, menciptakan simfoni khas yang hanya bisa ditemukan di Kuansing saat Pacu Jalur bergulir.
Momen ini, di luar segala kemegahannya, juga menjadi panggung bagi kisah-kisah personal yang mengharukan. Para perantau yang telah lama tak bertemu sanak saudara, kini bersua kembali di keramaian tepian sungai. Pelukan hangat, tawa lepas, dan cerita-cerita yang tertunda puluhan tahun akhirnya terurai di bawah naungan kemeriahan Pacu Jalur. Ada yang membawa serta buah hati mereka yang belum pernah melihat langsung tradisi leluhur, menanamkan benih cinta tanah air sejak dini.
Tak jarang pula, di tengah riuhnya Pacu Jalur, jalinan asmara bersemi. Banyak pemuda-pemudi yang pulang merantau menemukan belahan jiwa mereka di momen ini, di bawah tatapan restu sanak saudara dan hiruk-pikuk tradisi. Pacu Jalur, bukan hanya tentang perlombaan, tetapi juga tentang rezeki, dalam segala bentuknya – mulai dari kebahagiaan hati hingga pasangan hidup.
Pacu Jalur adalah mahakarya budaya yang hidup, berdenyut, dan terus berevolusi. Sejauh apapun kaki melangkah, sekeras apapun tantangan hidup mendera, ada sebuah tempat yang selalu memanggil pulang. Tempat itu adalah kampung halaman, yang setiap tahunnya merayakan eksistensinya dengan gemuruh Pacu Jalur, sebuah tradisi sakral yang tak hanya memacu adrenalin, tetapi juga memacu kerinduan, dan pada akhirnya, memacu kita untuk selalu kembali. (***)
Sumber: Riauin.com / Editor: Hendrianto.