Seekor ikan purba Coelacanth dicungkil di Pantai Atinggola Laut Sulawesi, tepatnya di Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, pada tanggal 15 Januari 2025.
Seekor ikan dengan berat sekitar 40 kilogram, tinggi 41 centimeter, dan panjang total 127 centimeter ditemukan oleh nelayan berusia 53 tahun bernama Kaluku.
Penemuan fosil ikan purba ini menjadi viral di media sosial Facebook.
Mendapatkan informasi tersebut, Ketua International Coelacanth Research Center and Marine Museum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) di Manado, Prof Alex Masengi, bersama Tim Peneliti Coelacanth Unsrat segera menuju ke lokasi penemuan.
Setelah tiba di lokasi, tim melakukan wawancara dengan Kaluku yang pertama kali menemukan ikan tersebut.
Menurut Prof Masengi, Kaluku asli pikir ikan itu adalah kura-kura karena ikan itu memiliki kaki dan menggerakkan diri di permukaan air ketika ia memancing sendiri pada pukul 16.00 Wita.
“Empat kali ikan itu mendatangi saya dan saya melihat dia terlilit oleh rumput laut. Saya bingung karena saya tidak tahu itu ikan apa, karena awal kali ini saya melihat ikan seperti itu,” kata Prof Masengi mengutip pernyataan Kaluku saat dihubungi via telepon, Rabu (22/1/2025).
Kaluku akhirnya memutuskan untuk mengangkat ikan tersebut ke atas perahu dengan bantuan “ganco” (pancing), meskipun sangat sulit karena besar dan beratnya ikan.
Dia kembali ke tepi pantai dan melaporkan temuan uniknya itu kepada keluarganya.
Karena ingin membawa ikan itu pulang, Kaluku meminta bantuan temannya, Andika Dudepo (27).
Meskipun mengalami kesulitan berbicara, Andika terbukti cepat dalam aksi dan sangat membantu.
Mereka menangkap ikan yang masih hidup dengan cara menariknya dengan tali yang diikatkan di penutup insang ikan (operculum) dan membawanya ke tepi pantai, sebelum mengangkutnya pulang menggunakan sepeda motor.
Ikan purba tersebut masih terlihat bergerak ketika dibawa pulang, sekitar pukul 17.00 Wita, menunjukkan bahwa ikan tersebut masih hidup kurang lebih satu jam setelah diambil dari air.
“Mungkin saja ikan itu bisa hidup lama, tetapi ketika diangkat ke atas perahu dengan ‘ganco’ mengakibatkan luka pada bagian dekat rahang dan mempercepat proses kematian pada ikan ini,” kata Prof Masengi.
Ia juga menjelaskan bahwa perbedaan suhu antara habitat alami ikan Coelacanth yang biasanya berada pada kisaran 14°C – 18°C dengan kondisi di daratan turut mempengaruhi.
Profesor Masengi menambahkan bahwa penemuan ini sangat mengejutkan, mengingat ikan purba ini biasanya tertangkap secara tidak sengaja oleh para nelayan.
“Hal ini menjadi pertanyaan besar dan perlu dipertanyakan mengapa dan apa yang membuat ikan ini hidup di kedalaman 150 – 500 meter,” ungkapnya.
Keberadaan ikan ini sangat membantu tim peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat, karena ikan tersebut menjadi spesimen kelam ke-9 yang ditemukan di Indonesia.
“Sampai saat ini, delapan spesimen yang terburai secara tidak sengaja di Perairan Indonesia sudah terdaftar di Coelacanth Conservation Council (CCC), dan kami juga sudah mendaftarkan ikan purba ini untuk mendapatkan nomor registrasi,” kata Dr. Masengi.
Lebih lanjut, Profesor Masengi mengungkapkan bahwa ikan purba coelacanth ini diduga sedang hamil.
“Ketika kami tiba di lokasi bersama tim peneliti, kami melihat perut ikan yang besar, kami menduga ikan ini hamil,” ujarnya.
Ia juga mengadakan video call dengan para peneliti Coelanth dari Afrika Selatan dan negara lainnya untuk membenarkan spekulasi tersebut.
Untuk menjaga kesegaran spesimen yang sangat penting untuk pengembangan penelitian lebih lanjut, tim berkoordinasi untuk menyimpan spesimen di depot penyejuk suhu yang beralat kerja sama dengan perusahaan perikanan Tuna Jepang.
“Negara-negara menyambut baik dan mendukung penyimpanan ikan purba ini pada suhu-80 derajat Celsius,” kata Profesor Masengi.
Beberapa peneliti dari berbagai lembaga telah bekerja sama koordinasi untuk partisipasi dalam penelitian ini, di antaranya adalah Profesor Trine Talei (Unsrat), IOCAS, Universitas Kanazawa, Universitas Ilmu Pengetahuan Laut Tokyo, dan Universitas Ryukyu TBRC.
Para peneliti dari Banda Aceh juga menghubungi untuk bergabung dalam penelitian ini, mengindikasikan keingintahuan luas terhadap penemuan ini.