Pemerintah Provinsi Riau telah mendeklarasikan komitmen untuk pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan hutan serta lahan secara lestari melalui pengembangan program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Program ini mencakup penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, mobilisasi investasi hijau, penerapan solusi berbasis riset, serta penguatan kelembagaan kolaboratif untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Riau.
Ketua Dewan Pengurus Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, menyambut baik komitmen tersebut namun mengingatkan agar tidak hanya menjadi wacana. Ia menyoroti bahwa sektor kehutanan, perkebunan sawit, dan pertambangan merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca di Riau. Romes mengatakan, “Saya merasa dejavu dengan komitmen ini. Dulu sudah ada Satgas REDD+ berdasarkan Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.833/VII/2011 dan revisinya No. 359/IV/2012. Tapi hasilnya? Deforestasi terus terjadi, gambut rusak parah, konflik masyarakat dan perusahaan terus meningkat, dan restorasi ekosistem belum menyentuh akar persoalan,” pada Jumat (9/5/2025).
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), kawasan hutan produksi di Riau mencapai 9.456.160 hektare. Dari luas ini, sebanyak 1.862.100 hektare telah dimanfaatkan melalui berbagai izin, termasuk IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, dan IUPHH-BK. Namun, terdapat perbedaan data dengan laporan triwulan III yang mencatat luas 1.988.115 hektare karena adanya dua izin yang tidak diperpanjang.
Menurut Keputusan Menteri LHK No. SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016, luas kawasan hutan di Riau mencapai ±5,4 juta hektare. Tutupan hutan tahun 2022 menunjukkan sebagian besar berada di kawasan hutan produksi (82,99%), hutan lindung (4,24%), taman nasional (4,09%), dan suaka margasatwa (6,83%). Lahan perkebunan di Riau mencakup 4,4 juta hektare, didominasi oleh kelapa sawit, sementara lahan pertanian kering seluas 1,46 juta hektare.
Romes juga menjelaskan bahwa Riau memiliki 5,3 juta hektare lahan gambut, terluas di Sumatera, dan sebagian besar telah mengalami degradasi. Selama 2016–2022, pemerintah pusat telah melakukan restorasi gambut di Riau seluas 209.977 hektare, termasuk pembangunan 1.618 sekat kanal. Namun, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terjadi, dengan 3.207 hektare terbakar dari Januari hingga 22 April 2025, termasuk 1.227 hektare lahan gambut.
Romes mempertanyakan keseriusan pemerintah provinsi dalam mengimplementasikan komitmen “Green for Riau” dan menyinggung kebijakan keberlanjutan perusahaan seperti SFMP dari APRIL Group dan FCP dari Asia Pulp & Paper (APP). Ia berharap program Green for Riau bukan hanya seremonial, tetapi benar-benar berdampak pada tata kelola lingkungan, khususnya restorasi ekosistem gambut dan penguatan hak masyarakat serta memperhatikan tata kelola hulu dan hilir konsesi HTI dan sawit, karena dua sektor tersebut menjadi penyumbang utama perubahan iklim di provinsi ini.