Komisi III DPRD Riau menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Kamis (19/6/2025) untuk mengevaluasi perizinan galian C di Provinsi Riau serta menanggapi isu terkait penggunaan material ilegal oleh Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan pengembang pembangunan jalan tol. Hal ini dilakukan sebagai respons terhadap ketidaksesuaian antara kondisi lapangan dengan jumlah izin yang dikeluarkan oleh PTSP.
Ketua Komisi III DPRD Riau, Edi Basri SH, MH, menyampaikan bahwa kebutuhan galian C untuk PT PHR mencapai 4 juta meter kubik per tahun, sedangkan pengembang jalan tol membutuhkan sekitar 2 juta meter kubik. Evaluasi dilakukan untuk memastikan tata kelola galian C tersebut tertib dan memberikan nilai tambah ekstrusi terhadap daerah, serta menanggulangi masalah lingkungan pasca penambangan.
Edi Basri mengungkapkan keprihatinannya terhadap bekas penambangan di daerah Kampar yang menjadi kolam liar yang tidak bisa direklamasi. DPRD Riau berupaya agar proyek PT PHR dan proyek Tol tidak meninggalkan kerusakan lingkungan yang merugikan Riau dalam jangka panjang.
Meskipun PT PHR membantah menerima galian C ilegal, Edi Basri menegaskan bahwa terdapat paradoks antara jumlah operasi lapangan dengan perusahaan yang memiliki izin. Hal ini menunjukkan adanya praktik penambangan ilegal yang perlu diatasi.
Dalam penertiban penambangan ilegal, Edi mencatat bahwa tanggung jawabnya terletak pada APH dan Satpol PP, namun pihak yang memberikan izin tidak dimandatkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang lebih baik antara pihak terkait untuk mengawasi dan menindak tindak illegal mining tersebut.
Edi mendorong agar pihak terkait, seperti DLHK, secara proaktif melaporkan aktivitas ilegal di daerah penambangan kepada APH. Selain itu, daerah yang mengalami kerusakan lingkungan pasca penambangan juga harus ditindaklanjuti dengan serius. Upaya sinkronisasi antar lembaga dan instansi terkait diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini secara efektif.