Hidup di kota besar dengan gaji yang terbatas sering kali memaksa individu untuk mencari solusi guna memenuhi kebutuhan keluarga.
Ia mengalami hal yang sama seperti Martabatul Auliya, seorang perempuan asal Semarang yang bekerja di salah satu perusahaan seluler dengan gaji Rp 3,4 juta, sesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK).
Kenaikan biaya hidup yang berkesinambungan mendorongnya untuk memulai usaha sampingan berjualan bakso yang dinamakan “Baksologi Frozen”.
Martabatul menjelaskan bahwa bisnis bakso ini bermula dari kebiasaan membawa oleh-oleh bakso khas Temanggung saat pulang ke rumah.
Banyak orang yang menyukainya. Karenanya, dia memutuskan untuk membuka sistem pemesanan awal (pre-order).
Sukses kecil ini mendorongnya untuk lebih serius melanjutkan usahanya.
Setelah tujuh bulan, Martabatul berani membeli pendingin atau kulkas untuk menyimpan stok bakso yang lebih banyak.
Namun, perjalanan bisnisnya tidak selalu mulus.
Stok bakso yang tidak terjual sepenuhnya setiap bulan membuat orang itu harus berinovasi.
Akan menutup peluang untuk reseller.
“Awalnya penyimpanan di warung teman, lama-kelamaan mulai ada tenant pelaku usaha. Sekarang sudah ada tiga pelaku usaha tersebut yang membantu memasarkan bakso saya. Semua dikelola pelan-pelan, bertahap,” pesan dia.
Keuntungan yang diperoleh dari bisnis tersebut ditabung untuk memperbesar bisnis tersebut.
Saat ini, ia telah memiliki lemari es yang lebih besar dan peralatan pendukung lainnya.
Masyarakat yang diskusi tentang masalah ini berpendapat menilai bahwa gaji Rp 3,4 juta tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga.
“Aku bahkan harus membeli sayuran untuk sarapan,” dengan gaji segitu teman aku akan merasa terbebani dan untuk beberapa keluarga pengaruhnya cukup terasa sregut”.
Ia mengakui bahwa untuk memenuhi kebutuhan, penghasilannya dari bekerja dan berusaha membuat bakso harus digabungkan.
Tetap tak lupa lagi, Martabatul bersyukur karena tambahan penghasilan dari bisnis bakso cukup membantu, meskipun belum begitu cukup.
Rp 5 juta per bulan itu benar-benar tekanan ekstrem. Jika seseorang hanya mengandalkan gaji, tentu tidak akan mencukupi.
Martabat harus cerdas dalam mengatur waktu antara pekerjaan dan usaha.
Setelah pulang kerja, ia langsung menangani usaha bakso, sementara waktu istirahat hanya dapat diterima pada malam hari.
Meskipun cukup sulit, ia dibantu oleh Akbar, rekan kerja dan suami setia yang senantiasa mendukungnya dalam menjalankan usaha ini.
“Ia uj ark, tapi sudah dilakukan, jadi harus terus berusaha,” katanya.
Ia melakukannya juga, Muhammad Shodiq, pengusaha Semarang yangberdagang di perusahaan sambil mencari waralaba telur gulung.
Bisnis Ayam Gulung pertama milik Shodiq diawali bulan Maret 2020, tetapi pandemi COVID-19 memaksa bisnisnya ditutup hanya dalam sebulan.
Setelah beberapa kali berusaha dan menghadapi berbagai bekuan, Shodiq akhirnya berhasil membuka usaha telur gulung yang kini bertahan hingga saat ini.
“Pujilah Allah, setelah bangkit dan jatuh, usaha ini bisa bertahan sampai sekarang,” katanya dengan penuh syukur.
Shodiq menjelaskan bahwa alasan utamanya merintis usaha sampingan adalah untuk mewujudkan impian membangun bisnis di masa depan.
“Saya ingin menjadi pengusaha yang bermanfaat, bisa membantu orang, dan menciptakan banyak kesempatan kerja. Makanya, semuanya saya mulai dari usaha yang kecil seperti ini,” jelasnya.
Meskipun sering dihadapkan pada risiko besar, seperti penerimaan penghasilan yang tidak tetap dan kebutuhan operasional yang harus ditutup dari dana pribadinya, semangat Shodiq tetap tak pernah padam.
Pekerjaan utama masih menjadi sumber utama penghidupan saya sekarang ini. Oleh karena itu, akan ada rasa takut saat ada ancaman PHK, terutama usaha saya masih berada di awal.
Dengan tekad dan semangat yang kuat, baik Martabatul maupun Shodiq menunjukkan bahwa di tengah-tengah tantangan hidup di kota besar, selalu ada peluang untuk menciptakan usaha dan mencapai impian.