Pada tahun 1983, Indonesia digegerkan dengan temuan mayat-mayat tak dikenal yang tersebar di berbagai wilayah tanah air. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Petrus (Penembak Misterius), di mana warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia terbiasa dengan keberadaan mayat-mayat yang bertebaran tanpa diketahui siapa pelakunya.

Pemerintah awalnya enggan untuk menjelaskan temuan mayat-mayat tersebut dan aparat keamanan menepis keterlibatan mereka. Panglima ABRI pada saat itu, Jenderal L.B. Moerdani, menyebut bahwa kematian-kematian misterius tersebut terjadi akibat perkelahian antar geng.

Dalam buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, Presiden Soeharto justru membenarkan adanya Petrus. Menurut Soeharto, penembakan misterius dilakukan sebagai shock terapi untuk meredam kejahatan yang telah melebihi batas perikemanusiaan.

Menurut Benny Moerdani, hingga Juli 1983 tercatat ada sekitar 300 korban Petrus di seluruh Indonesia. Namun, jumlah sebenarnya diperkirakan lebih dari itu karena banyak mayat yang tidak diketahui identitasnya.

Peter Apollonius Rohi, seorang wartawan kawakan dan mantan prajurit Korps Komando Angkatan Laut, turut memberikan pandangan tentang kejadian Petrus. Dalam bukunya, Peter mengungkapkan bahwa tidak semua korban Petrus adalah preman, dan identitas para korban tersebut dicatat olehnya.

Pada suatu hari, kantor redaksi Koran Suara Indonesia dikirimi paket mencurigakan yang ternyata berisi potongan kepala manusia, yang diduga sebagai potongan kepala korban Petrus. Peter Rohi menjadi salah satu saksi mata teror akibat berita yang mereka tulis.

Meski mengalami teror yang mengerikan, Peter Rohi dan rekan-rekannya terus melawan dan memberitakan tentang Petrus. Mereka tetap teguh dalam mengkritik dan memberikan informasi melalui media mereka, walaupun menghadapi tekanan dan teror yang datang.

Reaksi keras dari dunia internasional pun muncul setelah berita teror paket kepala manusia ini menyebar. Peter diwawancarai oleh wartawan Eropa dan Ketua IGGI dari Belanda datang untuk meminta jaminan keamanan dari Jendral L.B. Moerdani.

Meski ditawari untuk keluar dari Indonesia oleh Amnesti Internasional demi keamanan, Peter Rohi tetap memilih bertahan di tanah air dan melanjutkan perjuangannya sebagai wartawan. Akhirnya, operasi Petrus dihentikan oleh Soeharto, dan Peter Rohi diapresiasi atas keteguhannya dalam mempertahankan idealisme pers.