KUANTAN SINGINGI – Kekayaan alam yang melimpah, terutama perkebunan kelapa sawit, telah diberikan kepada Kuansing Singingi. Hamparan hijau sawit membentang luas, hampir menutupi seluruh wilayahnya. Namun, ironisnya, kekayaan ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Kuansing justru terjerembap dalam kemiskinan, dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penurunan perekonomian dalam tiga tahun terakhir.
Menurut Bupati Kuansing Dr Suhardiman Amby, hampir 200 ribu hektar kebun sawit di daerahnya ilegal. Ini adalah akar permasalahan yang membuat Kuansing, yang seharusnya menjadi daerah kaya, malah terpuruk dalam kemiskinan. Kebun-kebun sawit ilegal ini tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah. Selain itu, hutan-hutan di Kuansing sebagian besar dikuasai oleh pendatang dari luar daerah tanpa legalitas yang jelas.
Praktik ilegal ini tidak hanya merugikan daerah dari segi pendapatan, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan. Pertanyaan besar yang muncul adalah, sampai kapan Kuansing akan terus menderita? Kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah, justru menjadi beban. Diperlukan tindakan tegas dan terpadu dari pemerintah daerah dan pusat untuk mengatasi permasalahan ini.
Penegakan hukum terhadap kebun sawit ilegal dan penataan kembali pengelolaan hutan adalah langkah-langkah mendesak yang harus segera diambil. Masyarakat Kuansing berhak menikmati hasil dari kekayaan alam mereka. Sudah saatnya Kuansing bangkit, melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, dan meraih kesejahteraan yang sejati. Hamparan kebun sawit yang seharusnya menjadi sumber kemakmuran, justru menjadi kuburan bagi harapan masyarakatnya.
Ironisnya, dana bagi hasil (DBH) yang diterima Kuansing dari sektor sawit, jauh dari kata sepadan dengan luasnya perkebunan yang ada. Ibarat pepatah, "ayam mati di lumbung padi," Kuansing kaya sawit, tapi miskin DBH. Kekayaan alam Kuansing mengalir deras ke kantong-kantong pengusaha rakus di luar daerah, sementara masyarakat lokal hanya bisa gigit jari. Bencana alam, seperti banjir dan longsor, menjadi langganan, dan deritanya ditanggung oleh masyarakat Kuansing sendiri.
Ini adalah bentuk penjajahan gaya baru, di mana kekayaan alam dieksploitasi habis-habisan, tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi pemiliknya. Para penguasa dan penegak hukum seolah menjadi penonton setia, membiarkan Kuansing dijarah dan dirusak. (***)