Menurut OCCRP, para tokoh itu masuk dalam daftar finalis karena menerima dukungan daring terbanyak dari seluruh dunia dan memiliki alasan untuk diikutsertakan.
“Tidak ada siapa pun yang boleh dipilih untuk memiliki hak atas kebenaran dari publik. Mereka perlu ditentukan oleh para penerima penghargaan karena melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa dan menginspirasi,” jelasnya.
Akan tetapi, dalam beberapa kasus, nominasi yang diajukan masyarakat tidak didukung oleh bukti yang cukup kuat untuk membuktikan adanya korupsi besar atau pola penyalahgunaan kekuasaan yang konsisten.
Menurut Sullivan, terdapat keyakinan keras di masyarakat bahwa korupsi ada meskipun bukti pendukungnya tidak selalu memadai.
“Seharusnya ini menjadi peringatan bagi mereka yang dinominasikan bahwa masyarakat sedang memperhatikan, dan mereka peduli,” katanya.
OCCRP menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan Jokowi terlibat dalam tindakan korupsi untuk manfaat pribadi selama dia menjabat sebagai presiden.
Namun, kata organisasi itu, banyak kelompok masyarakat sipil serta para pakar mengatakan presiden Jokowi secara signifikan menghilangkan kemampuan dari komisi anti korupsi Indonesia. Menurut pernyataan itu, Jokowi juga disalahkan oleh masyarakat luas karena rusaknya lembaga pemilu dan sistema peradilan di Indonesia.
Oleh OCRC membenarkan beberapa orang telah menyalahgunakan daftar tokoh paling korup itu untuk mempromosikan agenda dan ideologi politik mereka.
Organisasi tersebut menyatakan tujuan mereka membuat daftar tersebut adalah untuk mengakui adanya korupsi dan kejahatan. OCCRP berjanji akan terus memprioritaskan transparansi dan inklusi dalam proses nominasi.
