Pacu Jalur Tepian Narosa, Kisah Batu Bersejarah di Teluk Kuantan
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, khususnya penggemar pacu jalur, nama Tepian Narosa sudah tak asing lagi di telinga. Gelanggang pacu jalur yang terletak di Teluk Kuantan ini kerap menjadi saksi bisu sengitnya persaingan perahu tradisional. Narosa bukanlah representasi dari individu, kata H. Syaifullah Aprianto, seorang tokoh masyarakat setempat.
Lebih lanjut, Syaifullah menceritakan bahwa di masa lalu, tepian sungai tersebut dipenuhi oleh bongkahan batu besar yang oleh masyarakat setempat dinamakan karak. Batu-batu inilah yang menjadi titik fokus makna di balik Narosa. “Habis mandi, kalau sudah tiba waktu shalat masyarakat menyempatkan diri shalat di atas batu itu. Itu namanya Narosa,” jelasnya.
Dari pemaparan Syaifullah, terungkap bahwa Narosa adalah akronim atau penyebutan populer dari “Naik Rosa” atau “Naik ke atas batu”. Batu-batu tersebut bukan sekadar bongkahan biasa, melainkan memiliki nilai spiritual dan fungsi praktis bagi masyarakat. Setelah beraktivitas di sungai, terutama mandi, warga memanfaatkan batu-batu tersebut sebagai tempat bersuci dan mendirikan salat. Kesakralan dan fungsi inilah yang kemudian melekat erat pada tepian tersebut, sehingga secara turun-temurun dikenal dengan nama Narosa.
Sayangnya, bongkahan batu bersejarah yang menjadi cikal bakal nama Tepian Narosa kini sudah tidak ada lagi. Diduga, abrasi dan pengikisan alam menjadi penyebab punahnya “karak” yang dahulu menjadi penanda dan pusat aktivitas spiritual masyarakat di tepian tersebut. Menurut Syaifullah, “Nama Narosa adalah sebuah tempat yang menyerupai bongkahan batu yang berada di tepian, tepatnya sekarang berada di depan Kantor Bawaslu.”
