Direktur IMF Michel Camdessus datang pada Kamis, 15 Januari 1998 di Jl.Cendana membawa sebuah dokumen untuk ditandatangani Soeharto. Soeharto terlihat menunduk sembari membubuhkan tanda tangan di dokumen tersebut di hadapan awak media. Camdessus, sambil menyilangkan tangan di dada, menatap tajam Soeharto, memberikan kesan keangkuhan yang mengisyaratkan bahwa Indonesia sudah tak berdaya dan telah jatuh ke tangan IMF. Gestur tersebut tertuang dalam foto-foto yang masih diperbincangkan publik.

Usai menandatangani dokumen, Soeharto memberikan pidato singkat bahwa ekonomi negara akan pulih dalam waktu cepat dengan kedatangan dana segar senilai US$ 43 miliar. Camdessus juga memberikan pidato formal. Keduanya lantas berjabat tangan sambil melempar senyum.

Peristiwa bersejarah ini dianggap sebagai “takluknya” rezim Orde Baru terhadap gejolak ekonomi yang berat. Setelah perekonomian Indonesia dihajar krisis parah yang membuat keuangan negara berdarah-darah, Soeharto akhirnya menyerah dan meminta bantuan IMF.

76 hari sebelum peristiwa tersebut, Soeharto melalui Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono sebenarnya sudah mengambil langkah pendahuluan untuk meminta bantuan dari IMF. Mereka mengajukan surat proposal program paket penyelamatan dari krisis pada 31 Oktober 1997. IMF setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43 miliar dolar AS.

Meskipun terjadi kesepakatan, paket kebijakan IMF tidak menyelamatkan perekonomian Indonesia, malah mendorong ke arah kehancuran. Resep dan paket pemulihan ekonomi ala IMF gagal total karena tidak cocok diterapkan untuk Indonesia.

Sebelum jatuh ke tangan IMF, Soeharto telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi krisis. Namun, kebijakan IMF yang terkesan salah dalam memberikan diagnosis dan obat terhadap masalah ekonomi Indonesia membuat keadaan semakin buruk.

Steve Hanke, seorang ekonom asal AS, mengusulkan sistem Currency Board System (CBS) kepada Soeharto. Soeharto setuju dengan sistem CBS dan mengumumkannya secara resmi di pidato kenegaraan, mengakibatkan kurs rupiah terhadap dollar menguat 28% dan ekonomi bergairah. Namun, tekanan dari IMF dan pemerintah AS membuat Soeharto akhirnya menerima bantuan dana US$43 miliar dari IMF.

Kerusuhan besar terjadi setelah kejatuhan Soeharto. Massa melakukan penjarahan, pembakaran, dan intimidasi terhadap etnis minoritas, terutama etnis Tionghoa. Stereotip terhadap etnis Tionghoa sebagai kaya raya dan dekat dengan penguasa membuat mereka menjadi target amukan massa. Banyak yang menjadi korban tanpa alasan yang jelas.