“Apa yang kami lihat adalah, para saksi ahli berpotensi untuk mengganggu ketertiban hukum di Indonesia jika kesaksiannya dinilai gugat di pengadilan,” ujar Profesor Arif dalam keterangan sambutan di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/1/2025).
Menurut Arif, jikalau semua ahli yang hadir dalam persidangan meminta keterangan akan digugat atau dikriminalisasi, mereka tidak akan mau ditugaskan sebagai saksi ahli di pengadilan kembali. Jika ini terjadi, kata dia, maka akan semakin sulit bagi hakim untuk mengambil putusan dalam kasus tertentu.
“Kami meminta negara untuk melindungi setiap dosen yang menjadi saksi ahir. Terutama Prof. Bambang Hero yang ditunjuk sebagai saksi ahli untuk membela negara terhadap perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan,” ujar Arif.
Arif menjelaskan bahwa untuk memperkuat perlindungan bagi dosen yang memiliki keahlian, maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan pemerintah tentang perlindungan dosen dan guru sebagai pelaksanaan UUPD dan UGU. Diketahui, Ketua Umum DPP Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung Andi Kusuma melaporkan Prof Bambang Hero Saharjo ke Kepolisian Daerah Bangka Belitung pada hari Rabu, 8 Januari 2025.
Dalam laporan tersebut, Andi mengatakan bahwa Prof Bambang memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta atau keterangan palsu, seperti yang diatur pada Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyatakan bahwa siapa pun yang memberikan keterangan palsu dalam keadaan di mana diperintahkan untuk memberikan keterangan di atas sumpah, baik secara lisan maupun tertulis, dapat dipenjara selama-lamanya tujuh tahun.
Mengenai informasi palsu itu memberikan konsekuensi pidana jika diberikan dalam kasus pidana yang bersangkutan dengan hukuman mati atau kurungan seumur hidup, pelaku dapat dipidana dengan kurungan selama-lamanya sembilan tahun.
Kasus ini dimulai dari permintaan Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia kepada Prof. Bambang untuk melakukan perhitungan terkait kerusakan itu berdampak positif pada kehilangan kekayaan negara di wilayah tambang Bangka Belitung. Menurut hasil analisisnya, Prof. Bambang menyatakan bahwa kerugian yang timbul mencapai angka yang sangat besar, yaitu Rp 271 triliun.
Namun, angka tersebut mencetuskan kontroversi. Andi Kusuma menanyakan profesionalitas dan kemampuan Prof. Bambang sebagai ahli dalam melakukan perkiraan kerugian negara.
Menurut Andi, langkah hukum ini diambil karena konon keterangan yang disampaikan oleh Prof Bambang tidak sepenuhnya akurat atau dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dinilai berpotensi merugikan pihak-pihak yang terkait.
Peristiwa ini menyoroti perdebatan tentang keabsahan perhitungan kerugian negara yang berdasarkan kerusakan lingkungan, terutama dalam kasus yang melibatkan sektor pertambangan di Bangka Belitung. Andi menyatakan bahwa laporan ini bukan hanya tentang angka yang dianggap luar biasa, tetapi juga terkait dengan prinsip keadilan dan integritas para ahli saksi yang sangat berpengaruh dalam proses hukum.
Judging Reading at Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (6/1/2025) menetapkan kerugian lingkungan akibat korupsi pengelolaan tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015-2022 sampai Rp271 triliun. Hakim Fahzal Hendri menyebutkan kerugian lingkungan hidup tersebut disebabkan oleh penambangan yang dilakukan atas hukum.
“Kerugian lingkungan pada non kawasan hutan dan kawasan hutan dengan total luas area lebih dari 170 ribu hektare sebesar Rp271 triliun lebih,” kata Hakim.
Pengadilan menjelaskan, kerugian lingkungan hidup itu meliputi daerah luar kawasan hutan seluas 95.000 lebih hektare dengan nilai Rp47,7 triliun dan di dalam kawasan hutan seluas 75.000 lebih hektare dengan nilai Rp223,3 triliun. Sementara lain, berdasarkan jenisnya, total kerugian lingkungan itu mencakup biaya kerugian lingkungan atau ekologi sebesar Rp183,7 triliun, biaya kerugian lingkungan ekologi sebesar Rp75,4 triliun, serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp11,8 triliun.
Jadi, menurut total Majelis Hakim, suatu kasus korupsi timah telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun. Tunjauan tentang kerugian lingkungan tersebut dilakukan dalam sidang putusan suatu kasus korupsi timah terhadap para terdakwa Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim juga terdakwa yang dikenal sebagai Crazy Rich di Pantai Indah Kapuk (PIK), Mochtar Riza Pahlevi Tabrani yaitu Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, Emil Ermindra yaitu Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020, serta Gunawan yaitu Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).
Helena dijatuhi vonis penjara selama lima tahun, dipidana denda Rp750 juta dengan pemotongan enam bulan, serta pidana tambahan berupa denda ganti rugi Rp900 juta ditambah penjara satu tahun.
Sementara Mochtar dan Emil masing-masing mendapatkan hukuman penjara lima belas tahun dan denda sebesar Rupiah 750 juta diasuskan enam bulan penjara. MB Gunawan mendapatkan hukuman penjara lima tahun enam bulan dan denda sebesar Rupiah 500 juta diasuskan empat bulan penjara.