–
Iqbal Damanik, Indonesia, mengatakan bahwa penebangan kawasan sawit dapat meningkatkan deforestasi, yang memiliki konsekuensi langsung pada krisis iklim. “Pembukaan hutan akan melepaskan banyak emisi karbon, yang membuat bencana iklim seperti kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan semakin parah,” katanya dalam keterangan resmi pada Selasa, 7 Januari 2024
Iqbal menyebut tolak ukur swasembada energi yang diusung pemerintah sebagai alasan untuk memperluas lahan sawit tidak bertumpu pada fakta sama sekali. “Kebijakan ini hanya membantu segelintir pihak dari industri sawit, bukan masyarakat luas,” ini penjelasannya.
Rencana ekspansi lahan perkebunan sawit seluas 20 juta hektare dianggap sangat melebihi alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021, dimana hanya 12,8 juta hektare hutan produksi konversi (HPK) diperbolehkan untuk kebutuhan energi dan pangan.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menyatakan bahwa pembukaan hutan alam seluas 4,5 juta hektare saja dapat melepaskan emisi karbon sekitar 2,59 miliar ton. “Di tengah menghadapi ancaman krisis iklim, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk melakukan deforestasi. Kementerian Kehutanan seharusnya menyelesaikan pembatasan batas kawasan hutan, bukan mengusung pembesaran perkebunan sawit yang justru memburuk tata kawasan persewaan lingkungan,” ucapnya dalam keterangan resmi pada Selasa, 7 Januari 2025.
Tumbuhan Buntilan dan Ancaman Kerusakan Lingkungan Hidup
Pengamat dari CERAH, Sartika Nur Shalati, menetang pernyataan Prabowo bahwa sawit tidak akan menyebabkan deforestasi. Ia pendapat bahwa pernyataan itu salah. “Kelapa sawit adalah koloni tanaman yang merusak keanekaragaman hayati, menghancurkan struktur tanah, dan makin berdampak buruk pada sistem hidrologi alami hutan,” ujarnya dengan resmi di awal bulan Januari tadi.
Ia juga memberitakan bahwa penyebaran sawit akan mengancam ekosistem gambut, yang selama ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami. Dengan sekitar 19 persen perkebunan sawit sudah berada di lahan gambut, ekspansi ini dikhawatirkan akan meningkatkan risiko kebakaran dan emisi karbon.
Rencana pengembangan biodiesel 50 persen (B50) yang menjadi bagian dari program swasembada energi nasional juga mendapat kritik. Menurut Sartika, untuk mencapai target tersebut, perluasan lahan sawit hingga dua kali lipat dari total lahan saat ini diperlukan. Langkah ini tidak hanya memperparah deforestasi tetapi juga menghambat percepatan transisi energi.
“Pemanfaatan bioenergi dari elais dan biomassa di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hanya memperpanjang umur penggunaan batubara, yang seharusnya segera dipensiunkan,” kata Sartika. Ia menambahkan, kebijakan ini bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo di G20 terkait rencana peralihan dari PLTU dalam 15 tahun ke depan.
Sahabat berpengalaman dan aktivis maritim mendesak pemerintah untuk kembali memperluas lahan sawit dan fokus pada kebijakan yang lebih berkelanjutan. “Energi mandiri memang penting, tetapi jika harus mengorbankan hutan dengan mengubahnya menjadi perkebunan sawit monokultur, itu langkah yang salah,” ujar Sartika.
Rencana ini, menurut para ahli, tidak hanya akan membatalkan komitmen penurunan emisi, tetapi juga akan memburukkan kerusakan lingkungan di Indonesia, yang sudah menghadapi bermacam-macam ancaman akibat perubahan iklim.
Pilihan Editor:
Inflasi 2024 Paling Rendah Sepanjang Sejarah. Apa Gunanya?