Dalam dunia politik, tak ada yang benar-benar muncul dari sebuah kebetulan. Setiap tokoh besar adalah hasil dari narasi, strategi, dan kepentingan yang dirangkai dengan cermat oleh mereka yang berada di lingkar kekuasaan. Begitu pula dengan Gibran Rakabuming Raka. Ia bukanlah “kebetulan sejarah” atau “seorang anak muda yang penuh prestasi” tapi dia bisa tiba-tiba muncul sebagai pemimpin nasional. Dia adalah bagian dari skenario besar. Sebuah proyek politik.

Naiknya Gibran ke panggung nasional tak bisa dilepaskan dari nama besar ayahnya—Joko Widodo. Dalam konstruksi kekuasaan, Gibran adalah manifestasi dari keinginan Jokowi untuk terus memiliki daya tawar politik meski masa jabatannya sebagai presiden telah usai. Namun, dalam proyek ambisius ini, muncul satu pertanyaan krusial: apakah Gibran benar-benar siap? Ataukah malah dia akan menanggung beban sejarah?

Banyak yang sepakat bahwa Gibran adalah proyek politik Jokowi. Penilaian ini bukan tanpa dasar. Sebelum mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pada 2020, Gibran tak pernah dikenal publik dalam konteks perpolitikan nasional bahkan politik di daerah sekalipun. Ia bukan aktivis kampus, bukan anggota legislatif, bukan pula tokoh pemuda yang muncul dari forum-forum diskusi orang hanya tau bahwa dia adalah anak Jokowi. Oiya dia juga dikenal sebagai seorang pengusaha kuliner martabak dan katering.

Tiba-tiba, dalam waktu singkat, ia muncul sebagai kandidat wali kota, menang dengan mulus melawan seorang Tukang Jahit. Dalam tempo singkat, hanya dalam tiga tahun, ia meloncat ke posisi calon wakil presiden, sebuah loncatan yang luar biasa tinggi. Dia mendampingi Prabowo Subianto—tokoh yang notabene adalah lawan ayahnya dalam dua pilpres sebelumnya.

Lompatan ini tak bisa dijelaskan dengan narasi logika berpikir. Jelas ini adalah hasil dari kalkulasi kekuasaan. Dan tak ada yang lebih mampu mengatur peta kekuasaan saat itu selain Jokowi. Singkatnya: Gibran adalah investasi politik Jokowi. Tapi apakah dia terpaksa..? Karena publik melihat kegamangan dalam dirinya yang tiba-tiba dipaksa berada di posisi sangat tinggi.

Dalam politik, kemandirian memang bukan soal usia, tapi soal karakter, sikap, dan kemampuan membentuk identitas pribadi yang otentik. Di sini Gibran belum nampak memiliki itu. Sejauh ini, semua langkah politik Gibran—dari pencalonannya di Solo, relasi dengan PDIP, hingga loncatan ke MK —semuanya berputar di orbit kekuasaan Jokowi.