banner 728x250

Gembok Awan dan Pagar Laut, Ide Kreatif yang Kelewat Batas

banner 120x600
banner 468x60

Pagar laut kadang-kadang tidak hanya menjaga pelabuhan, tetapi juga menguji logika kita. Jangan biarkan pikiran bodoh menjadi batasan bagi impian besar kita.

Suatu hari di sebuah desa pesisir, pagi hari terasa berbeda. Bukan karena matahari yang muncul di barat, tapi karena pagar dari kayu damar laut yang kini membentang panjang di sepanjang garis pantai. Pagar laut! “Mungkin ini momen baru,” pikir seorang nelayan tua, “bahwa kebebasan alam ternyata hanya berbatas pada garis biaya.”

banner 325x300

Ditaksirkan, biaya pagar laut tersebut mengeluarkan dana yang sangat mahal. Karena pagar laut itu sendiri dari kayu mewah. Ada yang dari kayu jati, namun ada juga yang dari kayu ulin, kayu merbau, dan kayu damar laut.

Nelayan muda yang memperbaiki jaringnya berkata, “Orang mengatakan bahwa ini untuk mencegah abrasi. Tapi mengapa justru sereal yang ada di dalam perut kita yang terkikis?” Semua tertawa kecil, walaupun dengan nada sedih.

Lalu, seorang pejabat desa datang dengan senyum lebar, seperti mentari pagi yang cerah, yet hanya menanamkan kegembiraan luar. “Pagar ini simbol modernisasi,” katanya sambil menunjuk pagar yang berdiri kokoh. Seorang nelayan dengan santai menjawab, “Modernisasi, Pak? Apa maksudnya batas baru untuk keadilan yang makin sempit?”

Sekretaris itu hanya tersenyum kusam, sebelum seorang keluarga nelayan memotong, “Jika memang ini proyek besar, di mana amlaknya? Jangan-jangan isinya cuma ‘Amandemen untuk Kuasa Laut, bukan untuk Nelayan.’” Tawa pecah di tengah pertemuan itu, tapi sekretaris tetap berdiri tegang seperti pohon kelapa yang menunggu ditebang.

Sore harinya, para nelayan berkumpul di warung kopi. Mereka mulai membuat teori-teori liar. Mereka bingung entah harus mengadu kemana. “Pagar ini kayak feed Instagram,” tangkas seorang anak muda, “Menjadi indah, tapi meninggalkan kita dari aliran kehidupan nyata.” Yang lain tertawa terbahak-bahak.

“Ah, mungkin pagar ini adalah proyek rahasia untuk membuat kolam renang terbesar di dunia, atau bahkan habitat spesies duyung langka!” tambah seseorang, “Sayangnya, para nelayan malah tidak bisa mendapatkan tiket masuk!” Pendalaan makin membelah perut karena tertawa. Bahkan si penjual kopi berpeluang menjatuhkan gelas karena makin saking ngakaknya.

Dalam tengah-tengah tawa itu, seorang nelayan tua berdiri dengan tenang, seperti sosok bijak di film-film. “Anak-anak,” katanya sambil tersenyum, “laut itu seperti panggung drama di satu waktu. Namun juga bisa jadi panggung sandiwara di waktu lain. Kita, nelayan cuma aktor tiap tukang drama. Produsen besar merancang scene-frob. Pemirsa… ya kita juga”. Jadi, kalau negara dipaksa berada di balik pagar laut, maka ini adalah komedi faham filosofis disepanjang pantai kehidupan”, katanya logatnya serius. Dia-orang disana berkernyit tak mengerti. Maksudnya, apa itu maksud.

Belum juga terjawab pertanyaan itu, nelayan tua yang sangat dihormati itu melanjutkan, “Tapi jangan lupa, siapa yang menulis skripnya? Ingat, Tuhan tidak pernah tidur! Jadi jangan takut, cerita ini belum selesai.”

Ketertiban itu singkat. Tapi kemudian seorang pemuda cerewet berteriak, “Kalau begitu, mari kita tunggu episode berikutnya: membeli kuncian debu, supaya hujanpun bisa dirundingi!” Dan tawamu pun kembali menggema, mengisi sore itu dengan suara gembira di tengah kelinenya hidup.

Akhir cerita: Pagar mungkin menjadi tetap berdiri, hanya menyegel pintu, tanpa pernah dibongkar. Tapi semangat mereka lebih kokoh dari baja keras. Karena hidup, bagaimanapun peliknya, masih bisa dirawat dengan senyum, dengan logika, bukan hanya dengan rasa hati.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *