Menggemakan atau memamerkan prestasi hidup yang dianggap mewah di media sosial sudah menjadi fenomena yang tidak bisa dihindari.
Bayangkan untuk setiap hari, kita menonton postingan tentang perjalanan mewah, testimonial prestise, atau kesuksesan hidup orang lain aku di media sosial. Ini tidaklah mengherankan bahwa banyak orang jatuh ke dalam perbandingan sosial, kebiasaan membandingkan kehidupan kita dengan apa yang tampak di layar. Padahal, apa yang kita lihat di media sosial hanya sepotong kecil dari realitas kehidupan mereka.
Di Indonesia, fenomena ini terasa lebih ekstrem disebabkan oleh adanya budaya yang kuat terkait dengan simbol status. Mempunyai rumah, mobil, atau posisi pekerjaan menarik sering dianggap sebagai alat ukur kesuksesan. Apalagi kalau kita sering ditanya, “Di mana Anda bekerja sekarang?” atau “Kapan Anda menikah?” yang bisa membuat hati kita terganggu. Media sosial ini malah melemparkan bahan bakar untuk memperburuk situasi ini.
Menurut laporan dari HotSuite, konten terkait gaya hidup dan pencapaian adalah yang paling banyak mendapat interaksi tinggi di Indonesia. Ini merupakan hal yang membuat kebiasaan ‘mengapa seseorang bekerja keras’ makin menjamur di kalangan anak muda.
Mengangkat Genggaman Otomatis: Ini Hanya Euforia Semata atau Sistem Besar-Besaran?
Ya, tidak semua fleksi itu negatif, guys! Jika kita melihat dari sisi positifnya, fleksing bisa menjadi sumber motivasi. Misalnya, melihat teman sukses di usia muda bisa membuat kita introspeksi dan lebih semangat untuk belajar dan berkembang. Fleksing kadang bisa memberikan gambaran bahwa kesuksesan itu mungkin, dan mungkin saja kita bisa mencapainya juga.
Tapi, hati-hati! Jika tidak dikontrol, fleksing bisa menjadi ledakan bagi kesehatan mental kita. Data dari WHO 2024 menunjukkan adanya peningkatan signifikan kasus depresi dan kecemasan di kalangan remaja Indonesia. Sebagian besar dari mereka ditelanamak oleh tekanan sosial dan perbandingan diri sendiri. Fleksing yang tidak terkendali bisa memperburuk tekanan itu.
Apakah Ini Sebuah Peluang yang Menarik?
Jadi, bagaimana cara kita menyikapi fenomena ini?
Pertama, perlu diingatlah bahwa apa yang terlihat di media sosial itu hanya cerita pendek, bukancloak gambaran yang lengkap tentang kehidupan mereka. Orang tidak akan menampilkan perjuangan dan kesulitan mereka. Jadi, jangan bandingkan perjuangan kita dengan keberhasilan orang lain yang hanya terlihat di permukaan.
Kedua, fokuslah pada kemajuan diri sendiri. Bandingkan diri seseorang dengan versi dirinya sekarang, bukan dengan orang lain. Setiap orang memiliki skenario hidup masing-masing. Kesuksesan tidak harus dicapai dengan kecepatan yang sama. Fokus pada perjalanan seseorang, bukan perbandingan dengan orang lain yang mungkin tidak relevan.
Gunakan Rasa “Keparvan” Sebagai Bahan Bakar Positif
Menggunakan rasa “iri” sebagai bahan bakar motivasi, bukan alasan untuk merasa minder atau tidak cukup. Ingatlah, setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda-beda, dan kita tidak harus mencapai puncak dengan kecepatan yang sama seperti orang lain. Buatlah kemestian kita sendiri yang lebih keren.
Yuk, Flexing Dengan Bijak!
Daripada terus merasa terdesak oleh apa yang tengah dilakukan orang-orang di media sosial, mari kita mulai lebih bijak dalam menyikapi kebiasaan memperlihatkan kenyataan atau keadaan diri sendiri (flexing). Kita bisa memilih untuk melihatnya sebagai inspirasi sehat atau bahkan sebagai perangkap sosial yang berbahaya. Flexing nggak selalu berdampak buruk, tapi penting bagi kita untuk mempertahankan sudut pandang dan fokus pada perjalanan hidup kita sendiri.
Bagaimana? Dengan bahan yang Anda berikan, artikel ini bisa mengajak pembaca untuk lebih reflektif tentang budaya fleksibel di media sosial dan pengaruhnya terhadap mental mereka. Bisa jadi sangat bermakna buat remaja yang mungkin sedang menghadapi tekanan sosial dan standar hidup yang terkadang terlalu tinggi.