Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) tahun 2024 menjadi sorotan tajam setelah ditolak oleh tiga fraksi di DPRD Kuansing. Penolakan ini dipicu oleh dugaan kejanggalan pada alokasi honorarium dan penambahan anggaran puluhan miliar di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkim) yang dinilai tidak sesuai prosedur. Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Riau (UNRI), Zul Wisman SH MH, mengatakan, “Perbedaan pandangan fraksi atas LPJ APBD Kuansing 2024 secara politik dan hukum hal yang biasa, dan tentu itu harus dijawab oleh eksekutif (Bupati) secara tertulis atas pandangan umum fraksi tersebut.”

Zul Wisman menegaskan bahwa polemik ini merupakan hal biasa dalam dinamika politik dan hukum. Ia menekankan kewajiban Bupati untuk memberikan jawaban tertulis atas pandangan umum fraksi-fraksi. Jika jawaban Bupati dianggap bertentangan dengan regulasi, Zul Wisman menyarankan agar hal tersebut menjadi catatan penting yang disampaikan kepada Gubernur Riau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk pembinaan kepala daerah.

Lebih lanjut, Zul Wisman mendorong DPRD Kuansing untuk mengoptimalkan fungsi pengawasannya, meskipun dianggap terlambat. DPRD memiliki tiga hak pengawasan, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Penggunaan hak-hak ini dinilai akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Jika terbukti ada pelanggaran hukum, baik administrasi negara maupun pidana, Zul Wisman menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan. Polemik ini berawal dari penolakan Fraksi Golkar, PAN, dan NasDem PKS dalam rapat paripurna DPRD Kuansing pada Selasa (8/7/2025). Fraksi Golkar menyoroti honorarium di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kuansing yang tidak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020.

Selain itu, penambahan anggaran Rp48 miliar di Dinas Perkim untuk penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) yang semula hanya Rp4,6 miliar, menjadi sorotan tajam. Fraksi Golkar menegaskan penambahan ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam rapat komisi maupun Badan Anggaran (Banggar) DPRD, melanggar Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.

Kontroversi semakin memanas dengan perbedaan pernyataan antara Wakil Ketua Komisi III DPRD Kuansing, Agung Rahmad Hidayat, yang mengklaim penambahan anggaran tersebut sudah dibahas, dengan anggota Komisi III lainnya, Mantan anggota Komisi III, Johnson Sihombing, serta mantan Ketua Komisi III DPRD Kuansing, Romi Alfisah Putra, membantah keras adanya pembahasan dan penandatanganan berita acara tersebut.

Sementara Pj Sekretaris Daerah Kabupaten Kuansing, H. Fahdiansyah, mengklaim penambahan anggaran Perkim merupakan usulan anggota komisi dalam rapat 27 Januari 2024 dan telah disepakati dalam berita acara antara Komisi III dan Dinas Perkim, serta telah disetujui Banggar dan TAPD pada 20 Februari 2024. Terkait honorarium, Fahdiansyah mengakui adanya kelebihan pembayaran yang telah dikembalikan ke kas daerah dan rasionalisasi untuk tahun 2025.

Meskipun tiga fraksi menolak LPJ, fraksi lainnya seperti Gerindra, PDIP, Demokrat, dan PKB menerimanya dengan catatan, namun menyatakan tidak bertanggung jawab atas segala persoalan hukum yang mungkin timbul di kemudian hari. Kepala BPKAD Kabupaten Kuansing, Masrul Hakim, enggan berkomentar mengenai honorarium di tahun-tahun sebelumnya, 2022-2023 , ia hanya menyatakan, “Tahun itu saya belum di BPKAD.” ujarnya.

Ketua FABEM Riau Heri Guspendri mendesak DPRD Kuansing untuk mengusut tuntas kasus ini. “Apalagi dengarnya ada aroma tak sedap terkait APBD 2024,” ucap Guspendri. Ia menyarankan DPRD untuk memanggil mantan Ketua dan pimpinan DPRD pada masa itu agar masalah ini menjadi “clear”.