Tidak seperti biasanya, I Made Darmayasa, laki-laki dari Bali yang bekerja sebagai sopir taksi, tidak mengangkut penumpang dengan kendaraannya pada Senin (6/1/2025). Bersama jutaan sopir yang tergabung dalam Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali, tekadnya telah bulat untuk mengunjungi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali agar bisa menyampaikan aspirasinya. Mereka sekaligus menuntut janji tempo hari bahwa pimpinan DPRD akan turun dan bertemu dengan mereka secara langsung pada hari tersebut.
Tidak ada teks yang diberikan untuk diparafrafs.
Darmayasa langsung berdiri menghampiri mikrofon begitu para anggota dewan masuk ke wantilan, mengungkap adanya lebih dari 70 paguyuban sopir yang sudah berhimpun. Mereka semua adalah sopir konvensional dan ojek pangkalan dari seluruh kabupaten dan kota yang ada di Pulau Dewata.
Pangkalan yang khas atau taksi tradisional. (“Darmayasa mengatakan) Tujuan kami menghadap wakil rakyat kami di sini adalah untuk mengeluh tentang kondisi pariwisata di Bali yang tidak baik-baik saja.”
Koordinator aksi FPDP itu kemudian menjelaskannya dengan menyebutkan Bali sebagai sebuah destinasi wisata yang oleh dunia akui sebagai tujuan wisata. Juga bukan hanya menawan oleh pesona alam, tetapi juga kebudayaan dan adat istiadatnya yang pesat berkembangnya filosofi. Namun, menurut Darmayasa, bersamaan kemajuan Bali, timbul banyak isu, termasuk berkembangnya aplikasi jasa transportasi yang menyebabkan ketimpangan akses ekonomi untuk sopir-sopir lokal dan berubahnya kemacetan parah.
“Bali seperti gula banyak semutnya. Ketika mereka (wisatawan) datang berwisata, kita menerima mereka dengan baik. Namun, apa yang terjadi sekarang? Kami dipaksa mengemban kewajiban, tapi hak kami disita, dirampok oleh kalangan kapitalis, dengan modal besar, di Bali,” jelasnya.
Aksi ini bukanlah kali pertama yang dilakukan di Bali. Perjuangan pengemudi konvensional untuk mencari titik terang atas hak mereka telah dimulai pada tahun 2011, lalu berlanjut pada tahun 2017 dan tahun 2019. Sebaliknya, Pulau Dewata justru mulai diterjang oleh perusahaan transportasi digital dan pengemudi luar Bali (non-PTT) yang bersaing memperebutkan pasar transportasi.
“Ini adalah hasil yang tidak konsisten. Mengapa bisa seperti saat ini? Budaya Bali kita diganggu, pariwisata kita rusak, tidak mencerminkan kepribadian Bali,” kata Darmayasa.
Seperti Darmayasa, sopir asal Klungkung bernama Wayan Widiasa turut mengemukakan keresahannya terhadap perkembangan transportasi di Pulau Dewata. Datang jauh dari timur Bali, Widiasa mengeluhkan adanya turis asing di Bali yang mengambil lapangan pekerjaan sopir konvensional. Bahkan, beberapa hari yang lalu, dia masih menjumpai praktik tersebut di Bandara Ngurah Rai.
“Dia beruntung sangat, memiliki stempel kekaca kecil di tengah hidung. Bayangkan orang itu berada di bandara Q den masih harus bergilir menelepon tamunya, menunggu tamunya datang terlebih dahulu. “(seperti orang) yang menunggu orang menunggu.
Di Bali, serta menegur dan mengatur ulang keberadaan penyedia angkutan sewa khusus di Bali, termasuk layanan penyewaan mobil dan motor.
Terdapat syarat khusus pada Provinsi Bali yang hanya berlaku bagi warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bali.
“Pariwisata pengunjung yang bukan asli dari Bali,” kata Darmayasa.
Mendorong Peraturan Daerah dan Beberapa Janji Lainnya
di Bali.
“Pasti dengan beberapa penelitian terlebih dahulu terkait jumlah kebutuhan, terkait juga proyeksi di masa depan,” katanya kepada para sopir yang masih berkumpul di Wantilan.
Suyasa mengungkap informasi yang didapatkannya dari Dinas Perhubungan (Dishub) mengenai jumlah angkutan khusus yang beraplikasi di Provinsi Bali. Saat ini, menurutnya, ada sekitar 10.854 unit angkutan sewa khusus, yang lebih rendah 45,7 persen dari proyeksi kebutuhan angkutan sewa khusus tahun 2020.
“Operasi tidak diberitahukan kepada Dishub Bali,” tambah yang.
Platform yang dapat diakses oleh pemilik perusahaan dan pengelola layanan angkutan sewaan.
Hanya untuk yang memiliki KTP Bali saja, sebab terbentur undang-undang yang menetapkan yg memungkinkan warga negara bekerja di seluruh Indonesia. Menurutnya, standarisasi merekrut untuk sopir pariwisata dalam bentuk sertifikasi lebih baik dibandingkan menetapkan sesuai dengan KTP.
Izin tersebut ditujukan untuk menguji kemampuan dan pengetahuan sopir mengenai geografi, wilayah, budaya, bahasa, dan tata krama di Pulau Dewata. Selain itu, standardisasi tersebut dapat pula dilakukan dengan penambahan label “Kreta Bali Smita” terhadap angkutan pariwisata, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor B.34.551.2/4949/AKT.JALAN/DISHUB.
“Tidak sembarang orang bukan Suku Daerah Bali, harus memahami aturan. Sertifikasi tersebut memastikan pengemudi memenuhi persyaratan kompetensi, kewilayah, budaya, dan bahasa. Kami akan memfasilitasi pengadaan sertifikasi kepada Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan untuk dapat dilaksanakan,” jelasnya.
Ketua DPRD Provinsi Bali, Dewa Made Mahayadnya, akan meningkatkan status Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 40 Tahun 2019 tentang Layanan Angkutan Sewa Khusus di Bali menjadi Peraturan Daerah (Perda). Maksudnya adalah agar peraturan tersebut memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dan lebih kuat.
pariwisata Bali,” tegas Dewa.
Dewa menjamin Perda itu ditetapkan sebagai prioritas dalam rapat DPRD Provinsi Bali. Aturan tersebut rencanannya ditulis dengan judul “Moda Transportasi Secara Komprehensif”, sehingga tidak hanya fokus pada layanan transportasi sewa khusus.
“Sangat prioritas. Begitu badan musyawarah membuka ruang untuk ke sidang, kami akan membahasnya. Mungkin minggu-minggu ini,” tuturnya.
Adanya Kebocoran Sistem Aplikasi
Mobil pariwisata harus berpelat DK.
, Senin (06/01/2025).
Aditya meragukan data yang dikumpulkan oleh Dishub Provinsi Bali oleh DPRD, karena harus dipertanyakan apakah aplikator atau koperasi angkutan sewa khusus memiliki latar belakang pelaporan rutin kepada pemerintah daerah. ### Untuk seterusnya, Aditya juga menemukan adanya kebocoran pada sistem yang dimiliki oleh koperasi atau aplikator sebagai penyebab bahkan mudah dimanipulasi.
Mereka mendaftar di luar wilayah, lalu ketika mereka pindah ke Bali, mereka mendaftarkan data kendaraan (berplat) DK yang ada di Bali. Setelah berhasil terverifikasi dan disetujui oleh pihak aplikator, ternyata mereka kembali beroperasi dengan mengganti kembali ke pelat aslinya dari luar Bali,” katanya.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, Aditya menyoroti keluhan wisatawan terhadap taksi konvensional yang belum memiliki patokan atau batasan tarif dan standar layanan. Ditambah, kendaraan pariwisata konvensional belum memiliki jaminan keselamatan dan keamanan untuk penumpang.
Secara spesifik, dia menyoroti pemaksaan oleh oknum kepada calon penumpang agar menggunakan jasa mereka dengan harga yang tubuh naik. Namun, dari Dinas Perhubungan Provinsi Bali sendiri, menurutnya, belum tegas kepada aplikator untuk menetapkan harga bawah dan atas jasa yang adil dan tidak menguntungkan pengemudi konvensional.
nakal,” kata Aditya.
Pertimbangan ini juga meresmikan spesifikasi pengemudi angkutan sewa khusus di Pulau Dewata, dengan berbagai kekalahan, mulai dari standardisasi kualitas, keamanan penumpang, dan meningkatnya kepercayaan penumpang. Ditegaskan oleh Aditya, diperlukan kriteria dan detail dari teknis spesifikasi sehingga tidak merugikan para pengemudi kembali.
“Yang perlu diperhatikan dalam implementasinya itu termasuk biaya pelatihan dan akses ke sertifikasi bagi calon pengemudi. Jangan sampai ini hanya menciptakan biaya yang tambahan lagi,” kata mereka.
Banyak di antara mereka adalah masyarakat umum atau warga lokal. Apalagi kebanyakan dari mereka adalah anggota koperasi penyewaan kendaraan yang spesifik.
“Kita berada di Bali, sebuah kawasan pariwisata,” katanya untuk disimpulnya.