Menyusui merupakan sumber makanan ‘standar emas’ pada bulan-bulan pertama kehidupan. Bunda dapat memberikan nutrisi terbaik untuk bayi. Tak hanya itu, ibu dan bayi juga dapat memperoleh dampak psikologis dari menyusui. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Akademi Dokter Anak Amerika merekomendasikan memberikan ASI ekslusif setidaknya enam bulan, yang didefinisikan sebagai satu-satunya sumber makanan. Menyusui bukan sekadar sumber nutrisi dari payudara, tapi juga memiliki efek yang signifikan dan luas untuk kognisi, perilaku, dan kesehatan mental pada ibu dan anak.
Dampak psikologis menyusui untuk ibu dan bayi sering kali diabaikan. Jennifer Hahn-Holbrook, PhD, menjelaskan bahwa menyusui memberikan kontak kulit langsung antara ibu dan bayi, mendorong pertukaran sosial ibu-anak sejak dini, dan memicu refleks mengisap alami bayi, sehingga menenangkan bayi. Para ilmuwan berpendapat bahwa menyusui memfasilitasi keterikatan anak kepada ibunya. Studi lintas bagian terhadap 655 bayi berusia 6–24 bulan menemukan tingkat perkembangan sosio-emosional yang lebih tinggi pada bayi yang disusui secara eksklusif dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula secara eksklusif.
Anak-anak yang telah disusui selama lebih dari 6 bulan cenderung tidak mengalami masalah kesehatan mental internal dan eksternal pada usia 14 tahun, dibandingkan dengan anak-anak yang telah disusui selama kurang dari 6 bulan. Paparan kadar kortisol yang tinggi dalam ASI dapat membentuk temperamen bayi pada manusia. Depresi pascapersalinan dapat menyebabkan dampak negatif jangka panjang pada anak terkait perkembangan kognitif, emosional, dan perilaku.
Menyusui menurunkan kadar kortisol, hormon yang terkait dengan stres, sehingga membantu ibu merasa lebih tenang. Ibu yang berhasil menyusui melaporkan kepercayaan dirinya meningkat dalam mengasuh anak-anaknya. Menyusui dapat memberikan rangsangan psikologis yang penting untuk perkembangan otak bayi. Sentuhan kulit ke kulit yang terjadi selama proses menyusui membuat bayi lebih cenderung merasa aman.