Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) adalah gangguan perkembangan yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk keturunan dan lingkungan.
Menurut penelitian terkini, ternyata ada dua faktor kunci lain yang mempunyai peran penting dalam terjadinya ADHD pada anak, yaitu gaya membesarkan anak (parenting) dan sifat anak.
Sikap anak merujuk pada keadaan Immutable yang mereka miliki sejak lahir yang memberikan dampak signifikan pada kepribadian mereka secara keseluruhan, yaitu, cara mereka menangani emosi dan bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan dan situasi yang berbeda.
Akademi Pediatrics Amerika membagi 9 sifat utama yang membentuk kepribadian anak:
Level aktivitas, yaitu level aktivitas fisik, keruwetan, atau kegoyakan yang mereka tanamkan.
– Keteraturan, yakni tingkat teratur atau tidak teraturnya pola mereka pada fungsi fisik dasar, seperti nafsu makan, pola tidur, serta rutinitas buang air besar.
– Pendekatan dan interaksi, bagaimana mereka menjawab situasi baru atau rangsangan, termasuk orang, tempat, dan makanan.
– Kemampuan menyesuaikan diri, atau seberapa mudah mereka menyesuaikan diri dan merespons perubahan.
– Tingkat intensitas, yaitu bagaimana tingkat energi mereka membalas suatu situasi, baik itu positif maupun negatif.
– Perasaan, bagaimana kecenderungan perilaku dan percakapan mereka.
Kemampuan perhatian, seberapa baik mereka dapat berkonsentrasi, dengan atau tanpa gangguan.
-Sulit tidaknya mereka teralih, yaitu seberapa mudah mereka teralihkan dari apa yang dikerjakan oleh apa yang terjadi di sekitarnya.
Ambang sensorik, yaitu besar kecilnya perangsangan agar anak memberi respons.
Karateristik ini secara umum akan membagi anak menjadi tiga kategori; yaitu mudah bergaul (dicirikan dengan anak aktif dan positif), lambat akrab (dicirikan dengan anak yang lebih suka mengamati dan tenang), dan menantang (sangat aktif dan terkadang meledak/pecah-pecah).
Hal ini berhubungan dengan petunjuk bahwa gaya orang tua dapat mempengaruhi keterampilan anaknya secara signifikan.
Penelitian menunjukkan terdapat korelasi antara temperament anak dengan ADHD, terutama pada anak dengan aktivitas fisik yang tinggi dan reaksi emosi yang intens.
Diketahui bahwa anak-anak yang berenergi tinggi menunjukkan gejala ADHD yang lebih ringan sepanjang waktu jika orang tua menggunakan pola asuh “direktif” atau sering memberi petunjuk.
Salah satu peneliti, Heather Henderson, profesor psikologi di Universitas Waterloo, Belgia, mengatakan “direktif” bukanlah sama dengan pola asuh mengontrol, bahkan hampir sebaliknya.
“Stil pengasuhan yang mendukung berkorelasi dengan orang tua yang sepenuhnya mendukung dan memberikan isyarat fisik serta verbal untuk membantu anak setiap saat ketika dibutuhkan,” katanya.
Pola asuh tersebut biasanya membantu anak ketika mereka membutuhkannya dan bersikap peduli kepada anak ketika mereka menjadi bingung. Berkata lainnya, semua hal sama-sama diberi bantuan atau diarahkan baik oleh orang tua.
Orangtua dapat mengurangi risiko anak mengembangkan ADHD dengan mengajarkan anaknya cara mengatur perilaku mereka sendiri, karena ADHD sering terkait dengan perilaku impulsif, kurangnya perhatian, dan hiperaktivitas.
Dengan membimbing anak sejak muda, mereka menjadi lebih siap menghadapi situasi baru, berbeda, atau penuh stres, di masa yang akan datang.
Meski tidak ada sebuah gaya bersalut khusus yang dapat mengendalikan ADHA, Dr. Henderson mengemukakan beberapa prinsip penting tentang “perancah” alias penyangga.
“Pikirkanlah seperti membangun rumah, ketika dimulai Anda membutuhkan dukungan untuk mencegah مقابلnya runtuh dan memberikan struktur. Saat rumah menjadi lebih tangguh, dukungan tersebut perlahan-lahan dihilangkan,” minta dia.
Dengan cara yang sama, tiang penopang dalam pola asuh adalah ketika orangtua menawarkan bantuan, petunjuk, dan juga struktur ketika anak belajar keterampilan baru. Begitu anak menjadi lebih percaya diri, orangtua perlu bergerak mundur selangkah dan membiarkan anak mencobanya sendiri.
“Pada dasarnya, itu adalah bagaimana anak belajar mengatur dan menguasai perilakunya sendiri. Hal itu akan membantu anak untuk bertahan, berpikir, mengevaluasi, dan merencanakan apa yang akan dilakukan berikutnya,” kata Dr. Henderson.
Ia menggambarkan contoh pernahnya ketika anak itu belajar bagaimana berinteraksi dengan temannya yang baru. Awalnya, kira-kira kita melatih anak untuk berkenalan, bagaimana memulai percakapan, dan apa itu yang harus dibicarakan.
Seiring waktu, orangtua perlu mundur dan memanfaatkan kesempatan untuk biarkan anak-anak menangani situasi sosial dengan sendirinya, namun tetap siap memberikan kemampuan mereka saat meminta saran mereka.
Di sisi lain, gaya pengasuhan seperti “helikopter” dan pola asuh yang memungkinkan anak menentukan dirinya sendiri, walaupun berbeda, juga akan mengubur kemampuan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Baik ayah ibu yang terus-menerus memantau atau memberikan kebebasan yang berlebihan, anak-anak tidak memiliki batasan yang benar, rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatur emosi dan perilaku seperti halnya pada gangguan ADHD.
Perlu diingat bahwa setiap anak unik, dan apa yang cocok untuk satu anak belum tentu berhasil pada anak lain. Oleh karena itu, sebagai orangtua, jangan terlalu membebani diri dengan satu gaya parenting saja jika hal itu tampakkan tidak berhasil.
Jika anak menunjukkan gejala ADHD, hal ini bukan berarti mereka pasti akan menerima diagnosis ADHD di masa depan, mungkin ini justru artinya sudah waktunya kita menyesuaikan gaya Selembaya atau gaya asuh yang sesuai dengan temperament anak.