untuk semua barang/jasa itu mendapat kritik dari beberapa pihak
No. 131/2024, Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12% tetap efektif untuk semua barang/jasa. Namun, dasar pembayaran pajak (DPP) dibagi menjadi dua, yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.
Pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan termasuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 11% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.
Ada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12 dalam Skema PPN 12%, Begini Penjelasan Anak Buah Sri Mulyani
Dengan nilai DPP yang dipisahkan kedalam dua bagian, sistem penghitungan PPN menjadi seperti berikut:
- 12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)
- 12% x DP: + Potongan = 12% x (11/12 x Nilai Transaksi)
Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasa sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan pajak pertambahan nilai (PPN)-nya menjadi seperti berikut:
:
- 12% x DPK = 12% x (12/12 x Rp1.000.000) = Rp120.000
- 12% x DPP = 12 x (11/12 x Rp1.000.000) = Rp110.000.
Perhitungan pajak butir a berlaku untuk barang mewah. Sementara itu, perhitungan pajak butir b berlaku untuk barang atau jasa lainnya yang tidak termasuk kategori mewah.
Pada akhirnya barang non-mewah mengalami pajak sebesar 11% karena aturan BPHTB mencakup pengalaman tersebut. Namun,.keyword pajak dasar PPN yang berlaku kenyataannya adalah 12%.
Dalam hukum Indonesia sah seseuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No. 42/2009 (Pasal PPN).
Pada Pasal 7 ayat (3) UU PPN, disebutkan bahwa pemerintah memiliki wewenang
Tokoh berita itu hanya informasinya sangat bermutu, tapi tonjolannya memikiran Organisasi Kerajaan Indonesia, Kekuasaan Pemuer atau Doktrin Persekutuan antara Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo.
, Rabu (1/1/2025).
Tuai Kritik
Direktur Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, merasa pembedaan antara dua DPP dalam Peraturan Menteri keuangan No. 131/2024 ini sangat membingungkan dan menimbulkan kebingungan dalam penerapannya.
Sementara itu, barang/jasa lainnya masih dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 11%.
Dengan kata lain, Misbhakun berharap Pajak Penghasilan Netto (PPN) diterapkan dengan tarif yang lebih kompleks—bukan malah menjadi lebih rumit dengan perhitungan dua keuntungan peredaran pajak (DPP).
“PMK 131 membuat dasar perhitungan yang penuh kebingungan bagi pelaku bisnis dalam penerapan tarip PPN 11% yang tidak bertumbuh dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).
Apalagi, lanjutan, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mencabut-nangka dengan pelaksanaan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Negara (PPN). Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sementara kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.
Kementerian Keuangan membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, sehingga tidak menimbulkan kemungkinan for hutang penafsiran, serta tetap menjalankan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
Misbakhun menekankan bahwa Direktorat Jenderal Pajak seharusnya tidak membuat penafsiran atau ketentuan yang berbeda dengan instruksi-praktis Prabowo, yang bisa menyebabkan kemungkinan munculnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia juga mendorong Dirjen Suryo Utomo untuk mengundurkan diri.
“Karena saya punya tafsir subyektif tentang pasal UU HPP yang sudah jelas,” katanya.
Beni Kurnia Illahi, Pakar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara menyebutkan ada berbagai aspek yang tidak wajar dalam Peraturan Menteri Kehakiman (PMK) Nomor 131/2024.
Bea hasi pajak yang diatur tersebut tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam pertimbangannya. Padahal, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% diatur dalam UU HPP.
, Rabu (1/1/2025).
Siapakah yang menyatakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PN) sebesar 12% berlaku secara umum.
Jika ditoleransi, maka pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu itu khawatir tarif PPN 12% akan diberlakukan untuk semua barang/jasa secara bertahap.
“Saat aturan PMK ini efektif untuk keuntungan negara maka kemungkinan aturan tersebut akan diperbarui, tetapi sebaliknya bila objek pajak tersebut tidak efektif bagi keuntungan negara maka pemerintah akan membuat norma baru lagi di tingkat PMK,” jelas Beni.
Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah menerapkan tarif pajak baru melalui level Undang-Undang atau setidaknya Peraturan Pemerintah (PP) yang kedua.