” (YONO).
Jika YOLO (You Only Live Once) diartikan sebagai ajakan untuk menikmati hidup tanpa batas, YONO (You Only Need Once) hadir sebagai pengingat akan pentingnya kesederhanaan dan efisiensi.
Gaya hidup YONO mendorong masyarakat untuk memprioritaskan kebutuhan pokok, dengan menggunakan satu barang atau penyelesaian yang sangat dan cukup untuk memenuhi keperluan tertentu.
Tetapi bagaimana dampaknya jika masyarakat banyak menerapkan gaya hidup ini?
Menurut Endang Mariani, seorang pengamat psikososial dan budaya, kelihatannya bisa memberi pengaruh baik dan juga buruk.
Pertama-tama, sumber daya energi yang melimpah dan harganya yang rendah membuat permintaan energi iteratur meningkat. Agar penting di Hindia Barat, exportir Malaysia dan Singapura meningkatkan leveran pulau Belitung.
Kerusakan jiwa akibat kelebihan biaya juga berkurang, karena menandakan bahwa kesejahteraan mental akan meningkat.
“Kita tidak lagi berlari untuk mengejar tren dan tekad egois untuk menunjukkan harta, tetapi membangun kesetaraan sosial,” jelasnya.
Hal ini dapat mengurangi kecemburuan sosial yang sering membunuh, akibat kesenjangan gaya hidup, terutama ketika seseorang merasa tertinggal dalam mengejar moda.
Dengan itu, masyarakat akan cenderung lebih menghargai kehadiran satu sama lain, ketimbang mengejar materi saja.
“Namun karena masyarakat telah menurunkan konsumsi, maka ada kemungkinan pihak merek-merek akan mengurangi produksi barang, akan tetapi perputaran uang akan menurun, serta mungkin dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi tersebut.”
“Dampak positif dan negatif pasti ada, tergantung bagaimana kita menanganinya. Bagaimana kita bisa mengubah dampak negatif menjadi positif,” ujarnya.
Misalnya, karena menurunnya produksi dan penggunaan barang, maka kerusakan lingkungan tersebut juga secara tidak langsung akan menurun.
“Dampak negatif terhadap lingkungan juga menurun, mengurangi polusi dan limbah,” kata penuhannya.
